Sabtu, 11 Desember 2010

NATURALISASI? KENAPA TIDAK!

Oleh Dimas Adiputra
Asli 100% bukan plagiat

Membela sebuah tim nasional merupakan pencapaian tertinggi dalam karier seorang pesepakbola. Ada kebanggan tersendiri ketika mengenakan kostum negeri tempat pemain itu berasal. Begitu pula dengan Indonesia, walaupun peringkat FIFA-nya jeblok, membela tim garuda masih menjadi idaman setiap pemain sepakbola Indonesia.

Bahkan bukan hanya orang-orang asli yang berkeinginan mengenakan kostum merah putih, para ekspatriat yang bermain di Liga Indonesia (Djarum Indonesia Super League) dan pemain keturunan juga mempunyai keinginan yang sama. Untuk itu isu naturalisasi pemain menjelang berguliarnya Piala AFF, turnamen antar negara tertinggi di kawasan ASEAN semakin gencar digulirkan.

BTN sebagai pihak yang berwenang menyiapkan timnas bergerak cepat. Jika tahun-tahun sebelumnya naturalisasi hanya menjadi isu yang cepat menguap, kini program tersebut berhasil direalisasikan. Dua pemain dinaturalisasi, yaitu Cristian Gonzales yang berasal dari Uruguay dan Irfan Harrys Bachdim yang lahir di Belanda tapi dari ayah seorang Indonesia.

Gonzales dan Bachdim mempunyai latar belakang yang berbeda. Gonzales mendapatkan paspor Indonesia karena sudah tinggal lebih dari lima tahun di Indonesia. Selain itu pemain yang kini merumput di Persib Bandung ini juga memperistri orang Indonesia. Kiprahnya yang sangat meyakinkan di Indonesia, diantaranya menjadi top skorer liga dalam empat tahun terakhir menjadi pertimbangan utama BTN untuk membantu proses permohonannya menjadi warga negara Indonesia.

Irfan Bachdim sejak kecil sudah memegang paspor Indonesia, sehingga kurang tepat jika disebut naturalisasi. Nama Irfan juga telah mengudara di Indonesia sejak lama, pemain ini mulai dipantau ketika menimba ilmu di akademi Ajax Amsterdam kemudian dilanjutkan di FC Utrecht. Ia juga sempat masuk tim seleksi yang dipersiapkan dalam Asian Games, namun tidak lolos karena dirasa tidak mempunyai kualitas yang istimewa dibanding rekan-rekannya. Apalagi Irfan juga terkendala komunikasi karena belum menguasai bahasa Indonesia.

Peruntungannya berubah di tahun 2010. Dimulai ketika Alfred Riedl diangkat menjadi pelatih timnas Indonesia. Pelatih yang sebelumnya menangani Laos ini membentuk skuad kompetitif dengan memadukan pemain muda dengan pemain berpengalaman. Riedl tidak terpaku pada pemain itu-itu saja, bahkan ia mendukung program BTN yang berupaya mencari pemain keturunan Indonesia yang bermain di luar negeri untuk dinaturalisasi menjadi pemain Indonesia.

Bak gayung bersambut, lewat sebuah laga charity yang diselenggarakan di Surabaya dan Malang, pecinta sepakbola Indonesia bisa melihat langsung aksi-aksi menawan pemain keturunan. Dari tiga nama yang hadir, dua diantaranya memikat hati para insan sepakbola: Irfan Bachdim dan Kim Jeffrey Kurniawan. Kedua pemain tersebut ditampung di klub Persema Malang, tapi sayangnya Kim masih dihitung sebagai pemain asing karena tidak memiliki paspor Indonesia sehingga dirinya hanya menjadi pemain magang tanpa bisa bertanding di laga resmi hingga akhirnya cedera mendera dan memaksanya pulang ke Jerman.

Performa apik yang ditunjukan Gonzales dan Irfan di ISL mendapat ganjaran seragam tim nasional merah putih. Duo pemain naturalisasi ini menjadi duet di lini depan timnas, menyisihkan nama Bambang Pemungkas yang harus puas menjadi cadangan. Permainan tim pun menjadi lebih berwarna, Gonzales menunjukkan ketajaman di depan gawang dan Irfan memberi sentuhan umpan-umpan pendek yang berbeda dengan pemain Indonesia kebanyakan yang lebih suka bermain umpan panjang.

Program naturalisasi pemain tampaknya berjalan mulus. Apalagi jika timnas Indonesia mampu keluar sebagai juara Piala AFF Desember ini. Tetapi yang menjadi pertanyaan, apakah tren naturalisasi akan terus dipertahankan BTN untuk mengatrol prestasi Indonesia yang terakhir kali memenangi kejuaraan pada Sea Games 1991?

Naturalisasi sejatinya bukan hal yang asing dalam dunia sepakbola. Jerman yang tampil menawan di Piala Dunia 2010 banyak menggunakan pemain ‘asing’ seperti Miroslav Klose dan Lukas Podolski yang lahir di Polandia, atau pemain-pemain yang punya darah Turki macam Mesut Ozil, Sami Khadeira, serta Serdar Tasci.

Naturalisasi juga menjadi tren peraih 3 kali juara Piala AFF, Singapura. Pemain-pemain asing yang berkiprah di liga Singapura direkrut untuk membela panji-panji timnas. Hasilnya tim ini menjadi yang terbaik di kawasan Asia Tenggara pada 2007.
Tidak ada salahnya bagi Indonesia menirunya. Namun harus dipikirkan naturalisasi seperti apa yang cocok bagi negeri berpenduduk 237 juta jiwa ini, apakah mengikuti cara Singapura dengan mengambil pemain dari liganya sendiri, ataukah memanggil pulang pemain-pemain apik yang punya darah Indonesia.

Dari dua cara tersebut, memanggil pemain yang punya darah Indonesia rasanya lebih bijak. Selain masih mempunyai keterikatan dengan negeri leluhurnya, cara ini juga mempunyai lebih banyak manfaat.

Dilihat dari segi umur, pemain yang dinaturalisasi dengan cara seperti Irfan Bachdim bisa lebih muda sehingga masa edarnya bersama timnas lebih lama. Proses naturalisasi juga lebih mudah. Kendalanya ada pada pemain itu sendiri, apakah mau melepas status kewarganegaraan dia sebelumnya ataukah tidak. Bagi sang pemain, menanggalkan kewarganegaraan asal bisa berakibat buruk bagi karier luar negerinya. Bisa-bisa ia masuk kategori pemain non Uni Eropa yang akan menyulitkannya mendapatkan klub. Itulah mengapa pemain yang akan dinaturalisasi harus berpikir masak-masak sebelum mengambil keputusan.

Sedangkan Gonzales baru menjadi warga negara Indonesia ketika umurnya sudah menginjak 34 tahun. Untuk mendapatkan paspor Indonesia, Gonzales terlebih dahulu malang melintang di persepakbolaan Indonesia selama tujuh tahun, dan sudah beristri orang Indonesia. Belum lagi prestasi yang diraih haruslah fantastis seperti Gonzales yang menjadi pencetak gol terbanyak di liga dalam 4 tahun belakangan.

Umur kepala tiga bukan lagi masa yang ideal bagi pemain sepakbola. Pemain seperti Gonzales diprediksi akan dipakai timnas tidak kurang dari 3 tahun saja.
Namun naturalisasi ini bukan tanpa kelebihan. Waktu yang lama di Indonesia membuat Gonzales sudah mengenal seluk beluk kultur Indonesia. Ini menjadi nilai plus karena El Loco, julukan Gonzales tidak perlu beradaptasi lagi. Kualitasnya juga sudah terbukti sehingga tidak akan merekrut kucing dalam karung.

Kini tinggal jalan apa yang ditempuh BTN demi mendongkrak prestasi timnas. Sebagai orang yang cinta terhadap persepakbolaan dalam negeri, kebijakan yang dibuat pasti didukung selama memberikan manfaat. Jika naturalisasi menjadi salah satu jalurnya, maka harus dipikirkan secara mendalam. Jangan sampai keberadaan pemain naturalisasi justru mengebiri peran pemain lokal, seperti yang terjadi di kompetisi lokal. Bagaimanapun pemain naturalisasi diperlukan untuk memberikan warna baru pada permianan timnas dan transfer pengalaman, jadi tidak perlu memasukkan banyak pemain asing di tubuh timnas.

ada yang baru

mulai saat ini isi blog saya bukan hanya cerita-cerita konyol yang saya alami sehari-hari, namun juga ada beberapa tulisan yang secara serius saya buat sebagai bentuk ungkapan maupun pikiran saya terhadap sebuah kejadian.

untuk itu beberapa tulisan yang akan saya posting mungkin terasa berat dipikiran anda hehe, tetapi saya sudah berusaha untuk mengkomunikasikannya dengan bahasa yang lebih mudah dicerna.

so, silahkan menikmati tulisan-tulisan saya lagi. saya akan mencoba lebih eksis menulis di sini sebagai konsekuensi telah hadirnya laptop di tangan saya hasil ngutang hehehe...

Popular Posts