Minggu, 25 November 2012

ANTARA IKLAN AYU TING-TING, KEMACETAN, DAN MONOPOLI POLISI


Kali ini saya ingin menulis hal yang menjadi kegundahan saya dalam beberapa hari ini. Tulisan ini bukan tulisan ilmiah karena saya tidak menggunakan data-data pendukung, juga karena pengetahuan saya yang sangat terbatas sehingga mungkin tulisan ini hanya sekedar common sense.

Berawal dari sebuah iklan, tiba-tiba saya jadi punya pikiran yang macam-macam. Pernahkan anda melihat iklan oli TOP1 matic yang dibintangi Ayu Ting-Ting? Ada hal yang menggelitik saya dalam iklan tersebut. Bukan terkait dandanan maupun performa pelantun lagu Alamat Palsu tersebut, tapi karena dalam dialog yang dia sampaikan, yang kira-kira berbunyi, “Udah gak jaman dibonceng, mending naik motor sendiri. Untuk urusan perawatan, tinggal pakai oli TOP1.” Kira-kira begitulah, saya tidak terlalu ingat persisnya.

Nah dari dialog tersebut, adakah hal yang mengganggu pikiran anda? Kalau dalam benak saya ada. Pertama, menginformasikan bahwa membonceng itu sudah ketinggalan jaman. Kedua, mengajak pemirsa buat terus membeli motor, atau setidaknya naik motor sendiri. Sah-sah saja sih mereka menggunakan dialog itu karena dengan semakin banyak motor yang ada dijalanan, maka para produsen oli semakin untung.

Namun pernahkan mereka berpikir bahwa iklan tersebut justru akan semakin menambah macet jalanan? Atau mereka tahu tapi memilih menutup mata? Toh urusan kemacetan bukan urusan mereka, yang penting dagangan laku keras. Begitukah orientasi mereka?

Terkait kemacetan pula, salah satu faktor kemacetan paling utama bukankah justru karena semakin bertambahnya jumlah kendaraan bermotor? Tapi mengapa selama ini cara mengatasi kemacetan selalu hal yang berbelit-belit dan tidak mengarah pada sasaran utama, seperti 3 in 1, menghukum orang yang parkir di badan jalan, dan lainnya? Jika penyebab kemacetan adalah bertambahnya kendaraan bermotor, maka cara mengatasinya adalah menghentikan penjualan kendaraan, perketat cara orang memiliki motor. Bagaimana mau terbebas dari macet sementara penjualan kendaraan masih bebas terjadi. Sampai berganti pemimpin ratusan kalipun akan tetap percuma hasilnya jika penjualan kendaraan masih dilakukan secara bebas. Dari Jokowi sampai Jokowow tidak akan pernah bisa menyelesaikan persoalan kemacetan jika kebijakan belum menyentuh hal yang paling esensial.

Apa karena ada korporasi besar sebagai produsen kendaraan sehingga tidak pernah wacana perketatan penjualan kendaraan diangkat ke publik? Mereka selalu saja menggunakan tameng membuka lapangan pekerjaan agar usaha mereka terus langgeng di Indonesia. Mereka tidak pernah berpikir tentang kemacetan, toh dari setiap penjualan kendaraan, pemerintah juga mendapat bagian. Dari pajak kendaraan bermotor juga sama, mereka berpikir seharusnya dari uang-uang itu negara membuka jalan baru,atau melakukan perawatan jalan untuk mengurangi kemacetan.

Benarkah pajak kendaraan yang kita bayarkan setiap tahun digunakan untuk membuat maupun memelihara jalan? Sepertinya tidak begitu. Indikatornya, karena yang mengurus pajak kendaraan adalah para polisi. Bukankah jika kita membayar pajak kendaraan kita pergi ke samsat, bukan kantor pajak? Dan disana bukankah isinya polisi semua?

Kalau memang pajak kendaraan digunakan untuk membangun atau memperbaiki jalan, idealnya pajak kendaraan dikelola oleh dirjen pajak dan diteruskan kepada kementrian keuangan untuk diberikan kepada kementrian Pekerjaan umum pada tahun anggaran berikutnya. Nah jika uangnya masuk ke samsat, apakah uangnya kemudian diserahkan kepada kementrian keuangan? Atau mereka kelola sendiri? Jika dikelola sendiri lalu buat apa?

Sepertinya dalam institusi polisi ada kegiatan monopoli. Setelah diberi kewenangan sebagai satu-satunya institusi yang berhak melakukan kekerasan atas nama negara, mereka juga punya punya monopoli atas kegiatan ekonomi. Masih ingatkan anda jika polisi adalah satu-satunya pihak yang berwenang membuat SIM dan STNK, bahkan juga untuk tes kesehatan dalam rangka memperoleh SIM, juga sebagai satu-satunya pihak yang boleh menindak pelanggaran berkaitan dengan SIM dan STNK. Coba pikirkan, adakah institusi lain yang punya kewenangan sebesar ini, polisi yang menerbitkan surat ijin, mengawasi, dan polisi juga yang menindak pelanggaran-pelanggaranya. Padahal semua aktivitas tersebut sangat berkaitan dengan UANG! Maka, jika pada orde baru ada dwi fungsi ABRI, maka sekarang ini ada dwi fungsi Polri.

Padahal, dalam demokrasi harus ada persebaran kekuasaan. Untuk itu ada legislatif yang membuat aturan, eksekutif yang menjalankan aturan, dan yudikatif yang mengawasi aturan dijalankan. Bandingkan dengan cara polisi, mereka yang membuat aturan, mereka yang menjalankan aturan tersebut, mereka pula yang melakukan pengawasan dan penindakan. Inilah yang disebut kekuasaan abslolut ala polisi.

Padahal (lagi), dalam sebuah kekuasaan yang absolut, terdapat perilaku korupsi yang juga absolut. Lord Acton berkata, “Power tends to corrupt and absolutely power, corrupt absolutely.” Jika sudah begini, apakah polisi masih layak disebut pembela kebenaran dengan segala monopoli dan kekuasaan absolutnya?

Mungkin tulisan ngalor ngidul saya ini banyak kekurangannya, banyak pula informasi yang bisa jadi salah. Maka silahkan jika ada yang ingin mengoreksi, mengritik, ataupaun memberikan saran. Jangan terlalu dipikirkan apa yang saya tulis ini karena belum tentu benar semuanya.

Salam galau memikirkan Indonesia yang semakin menuju sebuah negara gagal (failed state)!

3 komentar:

  1. haha meracau ya?
    aku bantu doa aja deh buat indonesia. ngmg2 soal motor.. aku bukan pengguna motor loh. aku pejalan kaki dan pengguna angkutan umum B-)
    *terus kenapa ken? -.-

    BalasHapus
  2. hahaha iya nih meracau gara2 saking mumetnya mikirin negara....
    lah mesti kalau kemana-mana nebeng ode kan hahahah

    BalasHapus
  3. negara jangan dipikirin sampe pusing hahahaha

    ya klo keperluqnnya sama ya bareng.. kalo ada kegiatan sendiri ya sendiri dong mas nya haha

    BalasHapus

Popular Posts