Minggu, 25 November 2012
ANTARA IKLAN AYU TING-TING, KEMACETAN, DAN MONOPOLI POLISI
08.42
3 comments
Kali
ini saya ingin menulis hal yang menjadi kegundahan saya dalam beberapa hari
ini. Tulisan ini bukan tulisan ilmiah karena saya tidak menggunakan data-data
pendukung, juga karena pengetahuan saya yang sangat terbatas sehingga mungkin
tulisan ini hanya sekedar common sense.
Berawal
dari sebuah iklan, tiba-tiba saya jadi punya pikiran yang macam-macam.
Pernahkan anda melihat iklan oli TOP1 matic yang dibintangi Ayu Ting-Ting? Ada
hal yang menggelitik saya dalam iklan tersebut. Bukan terkait dandanan maupun
performa pelantun lagu Alamat Palsu tersebut, tapi karena dalam dialog yang dia
sampaikan, yang kira-kira berbunyi, “Udah gak jaman dibonceng, mending naik
motor sendiri. Untuk urusan perawatan, tinggal pakai oli TOP1.” Kira-kira
begitulah, saya tidak terlalu ingat persisnya.
Nah
dari dialog tersebut, adakah hal yang mengganggu pikiran anda? Kalau dalam
benak saya ada. Pertama, menginformasikan bahwa membonceng itu sudah
ketinggalan jaman. Kedua, mengajak pemirsa buat terus membeli motor, atau
setidaknya naik motor sendiri. Sah-sah saja sih mereka menggunakan dialog itu
karena dengan semakin banyak motor yang ada dijalanan, maka para produsen oli
semakin untung.
Namun
pernahkan mereka berpikir bahwa iklan tersebut justru akan semakin menambah
macet jalanan? Atau mereka tahu tapi memilih menutup mata? Toh urusan kemacetan
bukan urusan mereka, yang penting dagangan laku keras. Begitukah orientasi
mereka?
Terkait
kemacetan pula, salah satu faktor kemacetan paling utama bukankah justru karena
semakin bertambahnya jumlah kendaraan bermotor? Tapi mengapa selama ini cara
mengatasi kemacetan selalu hal yang berbelit-belit dan tidak mengarah pada
sasaran utama, seperti 3 in 1, menghukum orang yang parkir di badan jalan, dan
lainnya? Jika penyebab kemacetan adalah bertambahnya kendaraan bermotor, maka
cara mengatasinya adalah menghentikan penjualan kendaraan, perketat cara orang
memiliki motor. Bagaimana mau terbebas dari macet sementara penjualan kendaraan
masih bebas terjadi. Sampai berganti pemimpin ratusan kalipun akan tetap
percuma hasilnya jika penjualan kendaraan masih dilakukan secara bebas. Dari
Jokowi sampai Jokowow tidak akan pernah bisa menyelesaikan persoalan kemacetan
jika kebijakan belum menyentuh hal yang paling esensial.
Apa
karena ada korporasi besar sebagai produsen kendaraan sehingga tidak pernah
wacana perketatan penjualan kendaraan diangkat ke publik? Mereka selalu saja
menggunakan tameng membuka lapangan pekerjaan agar usaha mereka terus langgeng
di Indonesia. Mereka tidak pernah berpikir tentang kemacetan, toh dari setiap
penjualan kendaraan, pemerintah juga mendapat bagian. Dari pajak kendaraan
bermotor juga sama, mereka berpikir seharusnya dari uang-uang itu negara
membuka jalan baru,atau melakukan perawatan jalan untuk mengurangi kemacetan.
Benarkah
pajak kendaraan yang kita bayarkan setiap tahun digunakan untuk membuat maupun
memelihara jalan? Sepertinya tidak begitu. Indikatornya, karena yang mengurus
pajak kendaraan adalah para polisi. Bukankah jika kita membayar pajak kendaraan
kita pergi ke samsat, bukan kantor pajak? Dan disana bukankah isinya polisi
semua?
Kalau
memang pajak kendaraan digunakan untuk membangun atau memperbaiki jalan,
idealnya pajak kendaraan dikelola oleh dirjen pajak dan diteruskan kepada
kementrian keuangan untuk diberikan kepada kementrian Pekerjaan umum pada tahun
anggaran berikutnya. Nah jika uangnya masuk ke samsat, apakah uangnya kemudian
diserahkan kepada kementrian keuangan? Atau mereka kelola sendiri? Jika
dikelola sendiri lalu buat apa?
Sepertinya
dalam institusi polisi ada kegiatan monopoli. Setelah diberi kewenangan sebagai
satu-satunya institusi yang berhak melakukan kekerasan atas nama negara, mereka
juga punya punya monopoli atas kegiatan ekonomi. Masih ingatkan anda jika
polisi adalah satu-satunya pihak yang berwenang membuat SIM dan STNK, bahkan
juga untuk tes kesehatan dalam rangka memperoleh SIM, juga sebagai satu-satunya
pihak yang boleh menindak pelanggaran berkaitan dengan SIM dan STNK. Coba
pikirkan, adakah institusi lain yang punya kewenangan sebesar ini, polisi yang
menerbitkan surat ijin, mengawasi, dan polisi juga yang menindak
pelanggaran-pelanggaranya. Padahal semua aktivitas tersebut sangat berkaitan
dengan UANG! Maka, jika pada orde baru ada dwi fungsi ABRI, maka sekarang ini
ada dwi fungsi Polri.
Padahal,
dalam demokrasi harus ada persebaran kekuasaan. Untuk itu ada legislatif yang
membuat aturan, eksekutif yang menjalankan aturan, dan yudikatif yang mengawasi
aturan dijalankan. Bandingkan dengan cara polisi, mereka yang membuat aturan,
mereka yang menjalankan aturan tersebut, mereka pula yang melakukan pengawasan
dan penindakan. Inilah yang disebut kekuasaan abslolut ala polisi.
Padahal
(lagi), dalam sebuah kekuasaan yang absolut, terdapat perilaku korupsi yang
juga absolut. Lord Acton berkata, “Power tends to corrupt and absolutely power,
corrupt absolutely.” Jika sudah begini, apakah polisi masih layak disebut pembela
kebenaran dengan segala monopoli dan kekuasaan absolutnya?
Mungkin
tulisan ngalor ngidul saya ini banyak kekurangannya, banyak pula informasi yang
bisa jadi salah. Maka silahkan jika ada yang ingin mengoreksi, mengritik,
ataupaun memberikan saran. Jangan terlalu dipikirkan apa yang saya tulis ini
karena belum tentu benar semuanya.
Salam
galau memikirkan Indonesia yang semakin menuju sebuah negara gagal (failed
state)!
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Popular Posts
-
Kali ini saya ingin menulis hal yang menjadi kegundahan saya dalam beberapa hari ini. Tulisan ini bukan tulisan ilmiah karena saya tidak m...
-
Biasanya saya getol menyalah-nyalahkan pemerintah, tapi khusus untuk tulisan ini, saya ingin kita sadar bahwa sebenarnya juga kita sam...
-
Gak kerasa bentar lagi udah Agustus. Jadi inget lagi masa-masa SMA gue. Apalagi bulan Agustus juga bulan yang spesial buat almamater sekolah...
-
Akhir-akhir ini saya terusik dengan kata “oknum”. Maklumlah, saya tidak tahu apa arti kata ini, tapi setiap ada sebuah kejahatan, kekelirua...
-
Sebelum bercerita, gua mau jelasin judul diatas. MU itu bukan singkatan Muntah Ulet (hoek!), Makan Ulet, maupun Minum Ulet (kok bikin contoh...
-
Aku beruntung dibesarkan dalam lingkungan orang-orang yang melek baca. Meskipun bukan berasal dari kalangan berada dan harus banyak berhem...
-
Brrrr... (bukan bermaksud iklan minuman bersoda lho) Pagi ini dingin banget. Dinginnya bukan hanya menusuk tulang sum-sum, tapi juga tulang ...
-
Sebagai anak muda, wajar donk kalo kita pengen punya hubungan lebih ama lawan jenis. Begitu juga gue, walaupun gue gak tau apa yang mesti di...
-
Oleh Dimas Adiputra Asli 100% bukan plagiat Membela sebuah tim nasional merupakan pencapaian tertinggi dalam karier seorang pesepakbola. Ada...
-
Ini tulisan saya di Rubrik OPOSAN Tabloid Bola, 13 September 2012 Sejak keluarnya Permendagri nomor 22 tahun 2011 yang melarang peng...






haha meracau ya?
BalasHapusaku bantu doa aja deh buat indonesia. ngmg2 soal motor.. aku bukan pengguna motor loh. aku pejalan kaki dan pengguna angkutan umum B-)
*terus kenapa ken? -.-
hahaha iya nih meracau gara2 saking mumetnya mikirin negara....
BalasHapuslah mesti kalau kemana-mana nebeng ode kan hahahah
negara jangan dipikirin sampe pusing hahahaha
BalasHapusya klo keperluqnnya sama ya bareng.. kalo ada kegiatan sendiri ya sendiri dong mas nya haha