Minggu, 20 Februari 2011

SULITNYA MEREFORMASI PSSI

Baru saja saya mendengarkan perbincangan di sebuah televisi swasta nasional mengenai bursa calon ketua umum PSSI dan saya tergelitik untuk sedikit berkomentar mengenai hal tersebut. Seperti kita tahu, dari empat calon yang maju, hanya dua yang akhirnya lolos dari tim verifikasi. Dua orang tersebut adalah muka-muka lama yaitu NH dan NB, sedangkan dua calon yang gugur ialah GT dan AP.

Sekilas keputusan tersebut terasa janggal bagi kita yang menginginkan adanya reformasi dalam tubuh PSSI. Sudah bukan rahasia jika sebagian masyarakat tidak menyukai sosok NH, yang sempat terganjal kasus hukum dan beberapa kebijakan kontroversialnya selama mempimpin PSSI. Apalagi NH juga dekat dengan salah satu partai politik di Indonesia, dan itu tidak berbeda dengan satu-satunya pesaingnya kini. Namun ketika pihak-pihak yang berkepentingan muncul (minus wakil dari balon yang gugur), saya menjadi tahu bahwa tim verifikasi sebenarnya telah bekerja dengan baik (menurut saya) kecuali keengganannya menjelaskan alasan tidak lolosnya GT dan AP.

Saya akan memulai dengan pernyataan Profesor Tjipta Lesmana, yang dalam perbincangan tersebut datang sebagai ketua komite banding yang mengatakan bahwa induk organisasi sepakbola dunia (FIFA) merupakan organisasi olahraga paling unik karena FIFA begitu independen dalam mengelola aturan main. FIFA tidak menginginkan adanya intervensi dari pihak lain, sekalipun itu berasal dari pemerintah.

Sayangnya independensi yang digadang-gadang FIFA terkesan naif karena dalam prakteknya FIFA merupakan organisasi yang sangat otoriter. Setiap induk organisasi sepakbola di seluruh dunia harus mengikuti statuta FIFA. Masih segar dalam ingatan kita induk organisasi sepakbola di Irak pernah dibekukan karena ada campur tangan pemerintahnya. Hal tersebut seolah membuktikan berkuasanya FIFA.

Dalam statuta FIFA, yang dikuatkan oleh hukum pemilihan versi FIFA ditambah statuta PSSI telah dijelaskan mengenai syarat-syarat dalam menentukan calon ketua umum, diantaranya pernah aktif dalam organisasi sepakbola dalam 5 tahun, yang kemudian dijelaskan sebagai pernah/sedang aktif dalam organisasi yang menjadi anggota PSSI. Yang disebut anggota sendiri adalah perwakilan asosiasi (asosiasi pemain putra, asosiasi pemain putri, asosiasi klub, asosiasi pelatih, dan asosiasi wasit) yang di Indonesia belum terbentuk serta perwakilan klub yang berasal dari divisi 3 hingga super liga. Syarat lain ialah tidak sedang menjalani proses hukum (saya sempat mendegar desas-desus bahwa statuta FIFA sebenarnya menyatakan “tidak pernah menjalani proses hukum” bukan “sedang tidak” seperti yang tercantum dalam statuta PSSI).

Dari syarat-syarat yang ada, menurut saya sudah jelas alasan AP dan GT tidak lolos verifikasi karena mereka tidak terdaftar sebagai anggota PSSI. Seperti kita ketahui GT hanya aktif di klub PSAD (Angkatan Udara) yang merupakan klub internal Persija Jakarta dan dianggap oleh tim verifikasi bukan sebagai anggota, sedangkan AP selain hanya turut serta mengorganisasi piala Medco (kompetisi usia muda, bukan klub anggota), juga dianggap berdosa karena karena menggulirkan liga tandingan (PSSI menghukum seluruh orang yang berkecimpung dalam LPI).

Saya rasa bursa pemilihan ketua umum PSSI telah habis, dan kita tidak akan melihat sosok anyar yang memimpin PSSI dalam empat tahun mendatang. Kecuali, tim kuasa hukum GT mempu membuktikan bahwa PSAD yang merupakan klub internal Persija Jakarta diakui sebagai anggota (paling tidak mendompleng Persija sebagai induknya). Sedangkan bagi AP, saya berharap komite banding mampu mempertimbangkan perannya dalam Piala Medco sehingga dianggap pernah/sedang aktif dalam organisasi olahraga, selain tidak menghukumnya karena orang LPI.

Saya jadi teringat, ketika GT mendeklarasikan diri menjadi bakal calon ketum PSSI, NH terlihat santai bahkan welcome. Tadinya saya mengira itu cuma untuk menutupi ketakukan NH karena dia mendapatkan pesaing, dan seolah-olah menunjukkan bahwa PSSI merupakan organisasi yang demokratis. Ternyata ketika sudah masuk verifikasi, barulah saya tahu jika NH telah memperhitungkan semuanya, bahkan memperhitungkan jika GT tidak akan mampu lolos verifikasi karena terganjal salah satu syarat.
PSSI memang menjalankan peraturan sesuai statutanya, namun jika ternyata peraturan itu telah dibuat sedemikian rupa sehingga ada beberapa pihak yang tidak bisa ikut berkompetisi, apakah masih layak disebut demokratis?

Nah, ternyata susah juga kan mereformasi PSSI karena aturan main tidak memberikan kesempatan adanya perubahan dari luar, sedangkan orang dalam sudah nyaman dengan keadaan saat ini. Tiga klub anggota PSSI yang sebenarnya berpotensi menyuarakan reformasi juga telah dicoret keanggotaannya karena membelot ke kompetisi LPI yang dianggap ilegal. Sementara itu legitimasi yang didapat PSSI berasal dari klub-klub anggota PSSI, dan klub anggota PSSI kedudukannya bukan sebagai wakil masyarakat.
Walaupun susah, bukan berarti reformasi menjadi hal yang mustahil. Menurut saya, ada beberapa cara menghentikan rezim yang berkembang saat ini. Cara pertama yang bisa menghasilkan perubahan cepat ialah intervensi dari pemerintah. Ini memang melanggar statuta FIFA dan Indonesia berpotensi dibekukan dari keanggotaan FIFA. Namun jika dengan cara ini sepakbola Indonesia mampu berkembang ke arah yang lebih baik, kenapa tidak? Jika sudah mengganti orang-orang PSSI di tingkat pusat maupun daerah barulah pemerintah lepas tangan dan kembali pada statuta PSSI. Konsekuensinya, Indonesia tidak bisa berkompetisi dalam turnamen dibawah FIFA selama beberapa tahun, dan peringkat Indonesia akan terjun bebas karena tidak dapat melakukan pertandingan internasional.

Cara lain yang relatif lebih aman ialah memaksakan reformasi dari dalam, dan yang memegang peranan ialah para suporter. Selama ini suporter tidak memiliki suara terhadap klub karena klub tetap mampu berdiri meskipun tanpa suporter, karena sumber pendanaan klub berasal dari pemerintah daerah. Wacana regulasi tidak diperbolehkannya APBD digunakan untuk membiayai klub sedikit banyak membawa angin segar. Jika APBD tidak ada lagi, klub otomatis akan bergantung pada sponsor dan suporter. Sponsor akan datang jika suporter mau berbondong-bondong datang untuk menonton, apa jadinya jika suporter memboikot untuk datang ke stadion? Klub tidak akan mendapat pemasukan (dari sponsor, penjualan atribut klub dan tiket), pada saat itulah klub menyadari pentingnya suporter dan pada saat yang bersamaan ketika klub sudah bergantung pada suporternya suara suporter juga akan didengar klub. Sehingga tidak ada lagi klub yang memberikan suara kepada orang yang tidak dikehendaki masyarakat.

Akhirnya, cukup sekian yang dapat saya sampaikan. Saya mengakui jika pandangan saya sangatlah subjektif karena saya juga individu yang pro terhadap reformasi PSSI. Sebagai orang yang ingin melihat sepakbola Indonesia berkembang lebih baik, hanya ini sumbangan saya terhadap kemajuan sepakbola Indonesia. Mudah-mudahan saya mampu berkontribusi lebih kedepannya.

Silahkan jika ada yang berkenan menanggapi maupun memberikan kritik, karena opini yang saya sampaikan ini masih jauh dari kesempurnaan.
Untukmu Indonesia

Popular Posts