Sebelumnya saya menganggap pencapaian ini sungguh luar biasa. Terkesan hiperbola memang, namun itulah yang benar-benar saya rasakan. Sebelumnya saya pesimis perubahan dalam tubuh PSSI tidak akan terjadi dalam waktu dekat ini, karena PSSI telah menyeting tata cara pemilihannya untuk memenangkan status quo. Namun suara rakyat ternyata mampu menggoyang kestabilan PSSI hingga berujung didapatnya perhatian dari FIFA setelah Joseph Blatter, Presiden FIFA kaget dengan aksi demonstrasi yang terjadi di berbagai penjuru negeri menentang keberadaan NH.
Terlepas dari hasil pemilihan ulang nantinya, keberhasilan menggulingkan rezim yang berkuasa menjadi prestasi tersendiri bagi Indonesia. Penguasa kalah oleh suara rakyat, karena rakyatlah sang pemegang otoritas tertinggi, penguasa hanyalah pelaksana otoritas dari rakyat.
Jikalau NH akhirnya lengser dan PSSI mendapatkan pemimpin baru, apakah saat itu juga reformasi di tubuh PSSI akan berhenti? Saya kira tidak. Masih banyak yang harus kita kawal, terutama tentu saja perilaku para elit, baik yang berada di pusat maupun di daerah.
Keyakinan saya bahwa reformasi belum usai tercermin karena pola yang dihasilkan pada reformasi pemerintahan Suharto 1998 dengan reformasi yang ada saat ini dalam beberapa hal relatif sama, terutama pada tataran aktornya.
Taruhlah para supporter yang turun ke jalan sebagai mahasiswa pada peristiwa 1998, sedangkan para anggota PSSI kita samakan sebagai aktor-aktor dalam pemerintahan pada 1998. Saat itu dan saat ini, hampir semua elemen bersuara satu: turunkan seseorang! Dan gerakan yang mereka lakukan juga bukan pergerakan yang instan. Peristiwa 1998 hanya akumulasi dari gerakan-gerakan yang sudah diorganisir bertahun-tahun, sedangkan reformasi PSSI kini juga puncak dari kekecewaan masyarakat pecinta sepakbola Indonesia terhadap kepemimpinan PSSI sejak NH ditetapkan sebagai tersangka tindak pidana bertahun-tahun silam.
Dari dua peristiwa ini saya jadi teringat akan pernyataan Adian Napitupulu, seorang aktivis 1998 dalam program televisi Mata Najwa “ Ketika kami (para demonstran) hanya 100 orang, semua orang memaki-maki kita, tetapi ketika kami 2000-3000 orang semua mendiamkan, dan ketika kekuatan kami 10000-20000 orang semua mengikuti kita”. Lebih lanjut Adian Napitupulu menambahkan bahwa pada 1997 ketika tidak ada tanda-tanda perlawanan dari rezim, semua (para elit) mendukung Suharto dalam pemilihan. Ketika kekuatan yang melawan semakin besar, elit diam, dan ketika kekuatan yang melawan sudah di atas angin, mereka (elit) ikut kita (pihak yang melawan).
Bukankah pola yang terjadi pada elit PSSI, baik di tingkat pusat maupun daerah juga seperti peristiwa di atas? Ketika menjelang kongres untuk menentukan ketua umum tidak ada tanda-tanda perlawanan, para elit mendukung NH, dibuktikan dengan 83 dari 100 suara anggota PSSI (Pengprov PSSI Provinsi dan klub sepakbola) mencalonkan NH sebagai bakal calon ketua umum kembali. Ketika tim verifikasi bakal calon ketua PSSI hanya meloloskan dua bakal calon (NH dan NB) yang merupakan pihak status quo, perlawanan membesar. Tetapi saat itu para pemilik suara anggota PSSI masih diam, dan ketika demonstran semakin besar dan mendapat perhatian masyarakat dan media, barulah 87 anggota PSSI yang memiliki suara dalam kongres menyampaikan mosi tidak percaya terhadap NH. Artinya elit pemerintah masa Orde Baru menyeberang ke pihak yang melawan, tidak berbeda dengan elit anggota PSSI yang berbalik mendukung perlawanan.
Lalu apa hasil dari reformasi 1998? Negara kita hanya berganti kulit, namun organ-organnya masih sama. Indonesia pasca 1998 hanya melahirkan demokrasi semu karena hukum masih tidak adil, korupsi masih merajalela, salah satunya karena para elit di jaman Suharto masih mendapat posisi penting di negeri ini. Mental yang mereka bawa masih sama dengan mental Orde Baru, yang justru berbahaya karena dapat menularkan mental tersebut pada generasi muda yang menjadi elit.
Tentunya kita tidak ingin hal diatas terjadi dalam organisasi persepakbolaan di negeri ini. Saya tidak menyarankan untuk menurunkan semua orang di lingkaran PSSI pusat dan daerah. Saya hanya menyarankan agar kita waspada dan terus mengawal jalannya perubahan di dalam tubuh PSSI. Bagaimanapun, elit itu wataknya oportunis-pragmatis (diambil dari pernyataan Adian Napitupulu) dimana mereka akan menunggu, jika perlawanan tidak kuat mereka ikut penguasa, tetapi apabila perlawanan kuat, mereka tidak segan untuk menyeberang. Itu karena mereka masih ingin berkuasa, dan mereka tidak segan menjilat, asalkan masih bisa terus memiliki kekuasaan.
Memang tidak semua anggota PSSI seperti itu. Beberapa sudah dengan sadar menyatakan perlawanan sejak jauh-jauh hari. Namun tidak ada salahnya kita tetap waspada dan mengawal perubahan PSSI.
Sebagai masyarakat pecinta sepakbola kita tentunya tidak ingin dalam kepemimpinan PSSI yang akan datang korupsi masih jamak terjadi, penyuapan serta pengaturan skor menjadi hal yang lumrah. Kita tentu ingin PSSI berbenah, memperlihatkan semangat fair play, yang pada akhirnya bermuara pada perbaikan prestasi timnas Merah Putih.
Sebagai penutup saya berharap agar wacana reformasi PSSI tidak cepat menguap seperti peristiwa-peristiwa lain di Indonesia yang hanya hangat-hangat tai ayam. Tanda-tanda melupakan sudah dilakukan dengan semakin berkurangnya berita PSSI di media. Entah disengaja atau tidak. Jangan sampai kita juga dengan cepat melupakan peristiwa ini karena jika tidak ada perubahan kali ini, mau kapan lagi?
17 Maret 2011





