Minggu, 25 November 2012
ANTARA IKLAN AYU TING-TING, KEMACETAN, DAN MONOPOLI POLISI
08.42
3 comments
Kali
ini saya ingin menulis hal yang menjadi kegundahan saya dalam beberapa hari
ini. Tulisan ini bukan tulisan ilmiah karena saya tidak menggunakan data-data
pendukung, juga karena pengetahuan saya yang sangat terbatas sehingga mungkin
tulisan ini hanya sekedar common sense.
Berawal
dari sebuah iklan, tiba-tiba saya jadi punya pikiran yang macam-macam.
Pernahkan anda melihat iklan oli TOP1 matic yang dibintangi Ayu Ting-Ting? Ada
hal yang menggelitik saya dalam iklan tersebut. Bukan terkait dandanan maupun
performa pelantun lagu Alamat Palsu tersebut, tapi karena dalam dialog yang dia
sampaikan, yang kira-kira berbunyi, “Udah gak jaman dibonceng, mending naik
motor sendiri. Untuk urusan perawatan, tinggal pakai oli TOP1.” Kira-kira
begitulah, saya tidak terlalu ingat persisnya.
Nah
dari dialog tersebut, adakah hal yang mengganggu pikiran anda? Kalau dalam
benak saya ada. Pertama, menginformasikan bahwa membonceng itu sudah
ketinggalan jaman. Kedua, mengajak pemirsa buat terus membeli motor, atau
setidaknya naik motor sendiri. Sah-sah saja sih mereka menggunakan dialog itu
karena dengan semakin banyak motor yang ada dijalanan, maka para produsen oli
semakin untung.
Namun
pernahkan mereka berpikir bahwa iklan tersebut justru akan semakin menambah
macet jalanan? Atau mereka tahu tapi memilih menutup mata? Toh urusan kemacetan
bukan urusan mereka, yang penting dagangan laku keras. Begitukah orientasi
mereka?
Terkait
kemacetan pula, salah satu faktor kemacetan paling utama bukankah justru karena
semakin bertambahnya jumlah kendaraan bermotor? Tapi mengapa selama ini cara
mengatasi kemacetan selalu hal yang berbelit-belit dan tidak mengarah pada
sasaran utama, seperti 3 in 1, menghukum orang yang parkir di badan jalan, dan
lainnya? Jika penyebab kemacetan adalah bertambahnya kendaraan bermotor, maka
cara mengatasinya adalah menghentikan penjualan kendaraan, perketat cara orang
memiliki motor. Bagaimana mau terbebas dari macet sementara penjualan kendaraan
masih bebas terjadi. Sampai berganti pemimpin ratusan kalipun akan tetap
percuma hasilnya jika penjualan kendaraan masih dilakukan secara bebas. Dari
Jokowi sampai Jokowow tidak akan pernah bisa menyelesaikan persoalan kemacetan
jika kebijakan belum menyentuh hal yang paling esensial.
Apa
karena ada korporasi besar sebagai produsen kendaraan sehingga tidak pernah
wacana perketatan penjualan kendaraan diangkat ke publik? Mereka selalu saja
menggunakan tameng membuka lapangan pekerjaan agar usaha mereka terus langgeng
di Indonesia. Mereka tidak pernah berpikir tentang kemacetan, toh dari setiap
penjualan kendaraan, pemerintah juga mendapat bagian. Dari pajak kendaraan
bermotor juga sama, mereka berpikir seharusnya dari uang-uang itu negara
membuka jalan baru,atau melakukan perawatan jalan untuk mengurangi kemacetan.
Benarkah
pajak kendaraan yang kita bayarkan setiap tahun digunakan untuk membuat maupun
memelihara jalan? Sepertinya tidak begitu. Indikatornya, karena yang mengurus
pajak kendaraan adalah para polisi. Bukankah jika kita membayar pajak kendaraan
kita pergi ke samsat, bukan kantor pajak? Dan disana bukankah isinya polisi
semua?
Kalau
memang pajak kendaraan digunakan untuk membangun atau memperbaiki jalan,
idealnya pajak kendaraan dikelola oleh dirjen pajak dan diteruskan kepada
kementrian keuangan untuk diberikan kepada kementrian Pekerjaan umum pada tahun
anggaran berikutnya. Nah jika uangnya masuk ke samsat, apakah uangnya kemudian
diserahkan kepada kementrian keuangan? Atau mereka kelola sendiri? Jika
dikelola sendiri lalu buat apa?
Sepertinya
dalam institusi polisi ada kegiatan monopoli. Setelah diberi kewenangan sebagai
satu-satunya institusi yang berhak melakukan kekerasan atas nama negara, mereka
juga punya punya monopoli atas kegiatan ekonomi. Masih ingatkan anda jika
polisi adalah satu-satunya pihak yang berwenang membuat SIM dan STNK, bahkan
juga untuk tes kesehatan dalam rangka memperoleh SIM, juga sebagai satu-satunya
pihak yang boleh menindak pelanggaran berkaitan dengan SIM dan STNK. Coba
pikirkan, adakah institusi lain yang punya kewenangan sebesar ini, polisi yang
menerbitkan surat ijin, mengawasi, dan polisi juga yang menindak
pelanggaran-pelanggaranya. Padahal semua aktivitas tersebut sangat berkaitan
dengan UANG! Maka, jika pada orde baru ada dwi fungsi ABRI, maka sekarang ini
ada dwi fungsi Polri.
Padahal,
dalam demokrasi harus ada persebaran kekuasaan. Untuk itu ada legislatif yang
membuat aturan, eksekutif yang menjalankan aturan, dan yudikatif yang mengawasi
aturan dijalankan. Bandingkan dengan cara polisi, mereka yang membuat aturan,
mereka yang menjalankan aturan tersebut, mereka pula yang melakukan pengawasan
dan penindakan. Inilah yang disebut kekuasaan abslolut ala polisi.
Padahal
(lagi), dalam sebuah kekuasaan yang absolut, terdapat perilaku korupsi yang
juga absolut. Lord Acton berkata, “Power tends to corrupt and absolutely power,
corrupt absolutely.” Jika sudah begini, apakah polisi masih layak disebut pembela
kebenaran dengan segala monopoli dan kekuasaan absolutnya?
Mungkin
tulisan ngalor ngidul saya ini banyak kekurangannya, banyak pula informasi yang
bisa jadi salah. Maka silahkan jika ada yang ingin mengoreksi, mengritik,
ataupaun memberikan saran. Jangan terlalu dipikirkan apa yang saya tulis ini
karena belum tentu benar semuanya.
Salam
galau memikirkan Indonesia yang semakin menuju sebuah negara gagal (failed
state)!
Jumat, 23 November 2012
BUKU DAN LATIHAN BERWIRAUSAHA
02.02
2 comments
Aku
beruntung dibesarkan dalam lingkungan orang-orang yang melek baca. Meskipun
bukan berasal dari kalangan berada dan harus banyak berhemat agar bisa
membesarkan aku dan tiga saudara kandungku, namun bapak dan ibu tidak pernah
pelit mengeluarkan uang untuk urusan buku. Prinsipnya, jika untuk membeli buku
orangtuaku tidak pernah berpikir dua kali untuk mengiyakan. Hasilnya, ketika
kecil koleksi bukuku lebih banyak daripada koleksi mainan.
Seiring
berjalannya waktu, jenis buku yang aku baca semakin beragam. Tidak hanya komik
maupun kumpulan cerpen, aku juga mulai suka membaca novel, buku catatan
sejarah, sosial, biografi, dan masih banyak lagi. Sampai-sampai di rumahku ada
ruangan khusus untuk menyimpan buku walaupun isinya belum terlalu banyak.
Ketika
beranjak kuliah, aku jadi semakin sering membeli dan membaca buku. Maklumlah,
di kota besar seperti Yogyakarta toku buku berjibun dengan koleksi yang sangat
lengkap. Hal yang tidak bisa aku temukan di daerah kelahiranku, Kebumen. Namun
lama-kelamaan aku merasa sayang jika buku-buku yang aku beli hanya bisa aku
nikmati sendiri. Aku berpikir membuka sebuah usaha penyewaan buku di Kebumen
supaya orang lain juga bisa membaca tanpa harus memiliki bukunya. Kebetulan
juga disana belum ada usaha yang bergerak dalam bidang penyewaan buku.
Akhirnya
pada 5 Agustus 2011, bersama lima orang teman SMA, tempat penyewaan buku
bernama Istana Buku Kebumen (IBK) dibuka. Kami harus mengontrak sebuah ruko di
pusat kota supaya tempat penyewaan buku ini mudah dijangkau. Kami juga mencari seorang
karyawan untuk menjaga tempat tersebut karena kami berenam sama-sama kuliah di
luar Kebumen.
Ketika
membuka usaha ini, kami tidak memasang target yang muluk-muluk. Ini kami
jadikan sebagai latihan berwirausaha. Jika pendapatan yang diterima bisa
menutupi biaya operasional saja kami sudah senang. Keuntungan yang diperoleh
pun akan kami gunakan untuk membeli buku lagi.
Sayangnya,
IBK hanya bisa bertahan selama setahun. Ketika kontrak ruko habis, IBK juga
berhenti beroperasi. Memang pendapatan yang diraih tidak bisa menutupi
biaya-biaya yang telah dikeluarkan, namun bukan itu masalah utamanya. Dalam
perhitungan kami usaha ini baru bisa balik modal setelah 2 tahun berjalan.
Banyaknya buku yang hilang maupun tidak dikembalikan menjadi alasan utama.
Aku
sempat kesal karena buku yang susah payah aku kumpulkan banyak yang tidak
kembali. Ada beberapa oknum yang sengaja memanfaatkan kelonggaran syarat
peminjaman dengan memberikan identitas palsu. Alhasil ketika dicek ke alamat
yang bersangkutan ternyata peminjam yang aku cari tidak ketemu. Aku merasa
sangat kehilangan karena setiap buku punya cerita tersendiri. Seperti buku
dwilogi Terang Bulan dan Cinta di Dalam Gelas karya Andrea Hirata yang aku beli
dengan tabunganku. Juga buku bertandatangan Raditya Dika milik kakak
perempuanku yang sangat berharga, dan masih banyak lagi. Sekarang buku-buku itu
entah berada di tangan siapa.
Beberapa
hari setelah tutup, mulai banyak yang menanyakan kenapa IBK tidak buka lagi.
Ada juga yang bertanya, “Kak, IBK cuma tutup sementara kan? Kalau sudah buka
lagi tolong kabari saya.” Pertanyaan-pertanyaan dari para pelanggan itulah yang
membuatku berpikir ulang dan menyadari jika aku terlalu cepat mengambil
keputusan untuk menutup IBK. Aku hanya diliputi perasaan kesal karena ulah
beberapa orang yang tidak tidak bertanggungjawab. Aku malah melupakan bahwa
masih banyak orang yang membutuhkan IBK. Aku melupakan wajah-wajah senang dan
puas dari para pelanggan karena menemukan buku yang mereka ingin baca.
Dari
bisnis penyewaan buku tersebut aku benar-benar belajar banyak hal. Suatu saat
nanti aku ingin membuka kembali IBK, tentu dengan konsep yang lebih matang
supaya makin banyak orang di Kebumen yang gemar membaca buku.
Sabtu, 17 November 2012
ANDAI AKU MENJADI KETUA KPK: PERKUAT POSISI TAWAR DAN RAIH DUKUNGAN MASYARAKAT
14.47
No comments
KPK
merupakan institusi bentukan negara yang ditugaskan secara khusus untuk
memberantas maupun mencegah praktek-praktek korupsi di Indonesia. KPK lahir
karena institusi penegak hukum yang lebih dulu ada seperti polisi maupun
kejaksaan tidak bisa maksimal dalam menjalankan amanah memberantas korupsi. Korupsi
sudah masuk dengan berbagai wajahnya, bahkan hingga pada lembaga-lembaga formal
yang seharusnya bertindak sebagai garda terdepan dalam memberantas korupsi. Oleh
karena itu dibutuhkan sebuah institusi baru yang sekiranya belum dan tidak bisa
terkontaminasi virus korupsi yang sudah merajalela.
Mengelola
dan memimpin sebuah institusi seperti KPK bukanlah hal yang mudah. Korupsi erat
kaitannya dengan kekuasaan. Seperti apa yang pernah disampaikan Lord Acton (1934-1902)
bahwa “All power tends to corrupt and absolute power corrupt absolutely”. Musuh
seorang ketua KPK dan para penyidiknya adalah orang-orang yang memiliki
kekuasaan, dan mereka bukankan musuh yang gampang ditaklukan. Elit penguasa
memiliki wewenang membuat kebijakan, sementara KPK hanya menjalankan sesuai
peraturan yang ada.
Kecilnya
posisi tawar KPK terhadap para elit terlihat sejak pemilihan para pimpinan KPK.
Oleh karena para pemimpin KPK dipilih oleh DPR berdasarkan rekomendasi
presiden, maka sangat sulit bagi KPK untuk dapat membongkar kasus-kasus korupsi
yang dilakukan para elit. Sistem sudah dibuat supaya KPK lemah dihadapan para
penguasa, padahal sejatinya orang-orang yang memiliki kuasa inilah yang rentan
terhadap perilaku korupsi.
Untuk
itu, jika saya menjadi ketua KPK, saya akan memprioritaskan pemberantasan
korupsi yang disebabkan oleh sistem, dengan tidak mengesampingkan pula korupsi
yang disebabkan oleh perilaku individu dan kebiasaan di masyarakat. Hal pertama
yang dilakukan ialah menyiasati supaya KPK tetap memiliki posisi tawar yang
tinggi untuk melawan para elit. Setelah terpilih sebagai ketua KPK, akan dibuat
sebuah kontrak perjanjian dengan para anggota legislatif dan eksekutif bahwa
mereka akan mendukung KPK dalam setiap upaya memberantas korupsi. Jika ada
indikasi korupsi oleh salah satu aktor di badan legislatif, yudikatif maupun
eksekutif, KPK harus diberikan dukungan baik secara moril maupun tindakan. Selain
itu KPK juga harus memiliki wakil ketika DPR membahas undang-undang mengenai
pemberantasan korupsi. Wakil KPK ini diikutsertakan ketika menyusun naskah
akademik maupun ketika menyusun legal drafting.
Setelah
itu, akan dilakukan penguatan di lingkungan internel KPK. Hal ini penting
karena dalam menjalankan tugasnya, para pemimpin KPK bekerja secara kolektif. Untuk
itu perlu dilakukan penyatuan visi misi dan program kerja diantara para
pimpinan KPK yang lain. Hal ini diyakini akan meningkatkan kekompakan dari para
pimpinan KPK untuk memberantas korupsi.
Selain
itu, saya juga akan menjadikan KPK sebagai lembaga yang benar-benar
partisipatif, transparansi, dan akuntabilitas. Ketiga instrumen ini penting
karena KPK harus menjadi institusi negara yang mengajarkan bagaimana sebuah
lembaga negara dikelola secara bersih dan profesional. Partisipatif bisa
dilakukan dengan mengajak serta para LSM untuk mengawasi KPK dan juga mendukung
KPK dalam memberantas korupsi. Transparansi dan akuntabilitas juga harus
dilakukan dengan membuka informasi apapun kepada publik.
KPK
juga tidak bisa berjalan sendiri dalam memberantas korupsi, terutama karena
musuh-musuhnya adalah para elit yang memiliki kekuasaan. Untuk itu KPK harus
menggandeng rakyat untuk turut serta melawan elit yang melakukan penyelewengan.
Dukungan dari masyarakat merupakan hal yang mutlak karena salah satu yang
ditakuti oleh para penguasa adalah kekuatan masyarakat sipil. Selain itu dengan
mengajak masyarakat turut serta KPK bisa mencoba menanamkan pembelajaran anti
korupsi kepada masyarakat umum.
Demikian
hal utama yang akan dilakukan andai menjadi ketua KPK. Upaya pemberantasan
korupsi tidak akan bisa berjalan maksimal tanpa keterlibatan berbagai pihak. Oleh
karena itu sebagai ketua KPK, saya harus mampu mendapatkan kepercayaan dari
berbagai elemen negara dan masyarakat supaya mereka turut bergerak membantu
memberantas korupsi.
DILEMA REPRESENTASI
14.21
No comments
Dimas Adiputra, 12 Maret 2012.
Isu yang menyangkut eksistensi partai politik selalu menjadi bumbu menarik dalam setiap gelaran pemilihan umum. Belakangan ini wacana yang berkembang ialah pecahnya suara di parlemen karena perbedaan pandangan mengenai parlementary treshold, yaitu ambang batas suara bagi partai politik yang dapat duduk di parlemen. Jika biasanya pertarungan melibatkan partai penguasa dengan oposisi, kali ini justru antara partai besar dengan partai menengah ke bawah.
Partai besar diwakili oleh Partai Demokrat, Partai Golkar dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Ketiga partai ini menginginkan ambang batas di parlemen ditingkatkan. PD mengehendaki kenaikan menjadi 4% sementara Partai Golkar dan PDIP lebih ekstrem dengan mengusulkan 5%. Sikap berbeda dinyatakan oleh partai menengah yang berisi PKS, PAN, PKB, PPP, Gerindra, dan Hanura. Koalisi yang menyebut dirinya poros tengah ini menginginkan angka parlementary treshold tidak dirubah, jikapun ditambah tidak lebih dari angka 3%.
Representasi vs governability.
Bukan tanpa sebab jika wacana mengenai parlementary treshold membuat gaduh DPR. Selain berdampak pada eksistensi partai mereka pada pemilu 2014, gonjang ganjing tentang angka parlementary treshold juga dikarenakan timbulnya dilema demokrasi yang berkembang di Indonesia. Demokrasi di Indonesia, dan juga negara-negara lain dunia ketiga sedang dihadapkan pada pilihan keterwakilan warga negara atau kestabilan pemerintahan. Dua pilihan ini bak dua sisi mata uang. Satu di atas satu di bawah. Satu terlihat dan satunya tidak terlihat.
Salah satu unsur dalam demokrasi ialah terwakilinya suara-suara yang ada dari berbagai latar belakang. Untuk itu dimunculkan sebuah pemilu multipartai dengan sistem proporsional. Sistem proporsional dipakai agar tidak memunculkan juara tunggal dalam sebuah daerah pemilihan. Dengan memperbanyak kursi yang dipertaruhkan pada satu daerah pemilihan maka memperbesar terjaringnya beragam partai yang masuk di parlemen.
Sistem ini memang membuat parpol yang masuk ke parlemen lebih berwarna. Pengalaman 3 kali pemilu pasca orde baru telah membuktikannya. Tidak ada partai yang mendominasi karena suaranya tidak terlampau jauh dengan parpol yang lain. Alhasil partai yang ingin berkuasa harus berkoalisi membentuk kekuatan baru di dalam DPR untuk mendapatkan kursi mayoritas.
Beragamnya warna partai di parlemen di satu sisi membuat kualitas demokrasi terangkat. Partisipasi aktif dan akomodatif terhadap kepentingan para stakeholder sebagai instrumen dalam demokrasi mampu dilaksanakan dengan baik. Penguasa tidak dapat berbuat otoriter dalam menentukan kebijakan karena harus memperhatikan suara dari parpol lain. Namun disisi lain hal ini mengakibatkan jalannya roda pemerintahan sedikit terhambat karena lamanya proses perumusan kebijakan yang harus menguntungkan seluruh partai yang ada. Kelancaran dalam pemerintahan menjadi terganggu karena selalu ada suara-suara yang mengkritisi dalam parlemen dan memunculkan dilema representasi dalam sebuah pemerintahan. Akhirnya suara-suara yang menginginkan perampingan parpol yang masuk parleman kembali diapungkan seperti masa orde baru.
Representasi alternatif.
Bagi negara-negara yang baru mengadopsi sistem demokrasi, representasi dan governability menjadi sebuah paradoks. Kedua hal ini belum dapat berjalan beriringan seperti yang terjadi pada negara demokrasi besar. Salah satu penyebabnya karena negara-negara yang baru berkembang dalam demokrasi sedang mencari bentuk demokrasi idealnya sendiri.
Meskipun begitu bukan berarti kedua permasalahan ini tidak dapat diakomodir. Bentuk akomodasi dapat dilakukan melalui penentuan skala prioritas. Dengan menambah ambang batas suara parpol yang berhak duduk di Senayan misalnya, bukan berarti mengurangi kualitas demokrasi. Ruang representasi masih dapat dihadirkan oleh saluran representasi lain seperti civil society maupun pemimpin informal.
Kehadiran civil society belakangan ini semakin diperhitungkan dalam konsep demokrasi Indonesia. Ruang bagi organisasi masyarakat yang sadar politik semakin dibuka untuk meningkatkan kualitas demokrasi. Selain sebagai garda pengawas kinerja pemerintah, civil society juga efektif sebagai sarana representasi. Apalagi tidak sedikit dari mereka yang memiliki akses untuk berkomunikasi dengan para pengambil kebijakan.
Sama halnya dengan civil society, kehadiran pemimpin informal juga dapat dijadikan saluran representasi masyarakat. Selama ini peran pemimpin informal seperti pemuka agama, orang sukses dalam sebuah masyarakat, hingga preman sekalipun tidak kalah dengan pemimpin informal selayaknya ketua RT atau kepala desa. Kepercayaan dari masyarakat sekitar menjadi basis legitimasi tidak resmi yang dimiliki oleh pemimpin informal untuk mengagregasi kepentingan yang dibawanya.
Jika ruang untuk saluran representasi lain berjalan dengan baik, idelanya wacana tentang parlementary treshold bukan lagi sesuatu yang harus diributkan. Apabila masih terjadi perdebatan antar partai, maka perdebatan lebih mengarah pada ancaman hilangnya sumber kekuasaan formal dalam negara.
Isu yang menyangkut eksistensi partai politik selalu menjadi bumbu menarik dalam setiap gelaran pemilihan umum. Belakangan ini wacana yang berkembang ialah pecahnya suara di parlemen karena perbedaan pandangan mengenai parlementary treshold, yaitu ambang batas suara bagi partai politik yang dapat duduk di parlemen. Jika biasanya pertarungan melibatkan partai penguasa dengan oposisi, kali ini justru antara partai besar dengan partai menengah ke bawah.
Partai besar diwakili oleh Partai Demokrat, Partai Golkar dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Ketiga partai ini menginginkan ambang batas di parlemen ditingkatkan. PD mengehendaki kenaikan menjadi 4% sementara Partai Golkar dan PDIP lebih ekstrem dengan mengusulkan 5%. Sikap berbeda dinyatakan oleh partai menengah yang berisi PKS, PAN, PKB, PPP, Gerindra, dan Hanura. Koalisi yang menyebut dirinya poros tengah ini menginginkan angka parlementary treshold tidak dirubah, jikapun ditambah tidak lebih dari angka 3%.
Representasi vs governability.
Bukan tanpa sebab jika wacana mengenai parlementary treshold membuat gaduh DPR. Selain berdampak pada eksistensi partai mereka pada pemilu 2014, gonjang ganjing tentang angka parlementary treshold juga dikarenakan timbulnya dilema demokrasi yang berkembang di Indonesia. Demokrasi di Indonesia, dan juga negara-negara lain dunia ketiga sedang dihadapkan pada pilihan keterwakilan warga negara atau kestabilan pemerintahan. Dua pilihan ini bak dua sisi mata uang. Satu di atas satu di bawah. Satu terlihat dan satunya tidak terlihat.
Salah satu unsur dalam demokrasi ialah terwakilinya suara-suara yang ada dari berbagai latar belakang. Untuk itu dimunculkan sebuah pemilu multipartai dengan sistem proporsional. Sistem proporsional dipakai agar tidak memunculkan juara tunggal dalam sebuah daerah pemilihan. Dengan memperbanyak kursi yang dipertaruhkan pada satu daerah pemilihan maka memperbesar terjaringnya beragam partai yang masuk di parlemen.
Sistem ini memang membuat parpol yang masuk ke parlemen lebih berwarna. Pengalaman 3 kali pemilu pasca orde baru telah membuktikannya. Tidak ada partai yang mendominasi karena suaranya tidak terlampau jauh dengan parpol yang lain. Alhasil partai yang ingin berkuasa harus berkoalisi membentuk kekuatan baru di dalam DPR untuk mendapatkan kursi mayoritas.
Beragamnya warna partai di parlemen di satu sisi membuat kualitas demokrasi terangkat. Partisipasi aktif dan akomodatif terhadap kepentingan para stakeholder sebagai instrumen dalam demokrasi mampu dilaksanakan dengan baik. Penguasa tidak dapat berbuat otoriter dalam menentukan kebijakan karena harus memperhatikan suara dari parpol lain. Namun disisi lain hal ini mengakibatkan jalannya roda pemerintahan sedikit terhambat karena lamanya proses perumusan kebijakan yang harus menguntungkan seluruh partai yang ada. Kelancaran dalam pemerintahan menjadi terganggu karena selalu ada suara-suara yang mengkritisi dalam parlemen dan memunculkan dilema representasi dalam sebuah pemerintahan. Akhirnya suara-suara yang menginginkan perampingan parpol yang masuk parleman kembali diapungkan seperti masa orde baru.
Representasi alternatif.
Bagi negara-negara yang baru mengadopsi sistem demokrasi, representasi dan governability menjadi sebuah paradoks. Kedua hal ini belum dapat berjalan beriringan seperti yang terjadi pada negara demokrasi besar. Salah satu penyebabnya karena negara-negara yang baru berkembang dalam demokrasi sedang mencari bentuk demokrasi idealnya sendiri.
Meskipun begitu bukan berarti kedua permasalahan ini tidak dapat diakomodir. Bentuk akomodasi dapat dilakukan melalui penentuan skala prioritas. Dengan menambah ambang batas suara parpol yang berhak duduk di Senayan misalnya, bukan berarti mengurangi kualitas demokrasi. Ruang representasi masih dapat dihadirkan oleh saluran representasi lain seperti civil society maupun pemimpin informal.
Kehadiran civil society belakangan ini semakin diperhitungkan dalam konsep demokrasi Indonesia. Ruang bagi organisasi masyarakat yang sadar politik semakin dibuka untuk meningkatkan kualitas demokrasi. Selain sebagai garda pengawas kinerja pemerintah, civil society juga efektif sebagai sarana representasi. Apalagi tidak sedikit dari mereka yang memiliki akses untuk berkomunikasi dengan para pengambil kebijakan.
Sama halnya dengan civil society, kehadiran pemimpin informal juga dapat dijadikan saluran representasi masyarakat. Selama ini peran pemimpin informal seperti pemuka agama, orang sukses dalam sebuah masyarakat, hingga preman sekalipun tidak kalah dengan pemimpin informal selayaknya ketua RT atau kepala desa. Kepercayaan dari masyarakat sekitar menjadi basis legitimasi tidak resmi yang dimiliki oleh pemimpin informal untuk mengagregasi kepentingan yang dibawanya.
Jika ruang untuk saluran representasi lain berjalan dengan baik, idelanya wacana tentang parlementary treshold bukan lagi sesuatu yang harus diributkan. Apabila masih terjadi perdebatan antar partai, maka perdebatan lebih mengarah pada ancaman hilangnya sumber kekuasaan formal dalam negara.
Langganan:
Komentar (Atom)
Popular Posts
-
Kali ini saya ingin menulis hal yang menjadi kegundahan saya dalam beberapa hari ini. Tulisan ini bukan tulisan ilmiah karena saya tidak m...
-
Biasanya saya getol menyalah-nyalahkan pemerintah, tapi khusus untuk tulisan ini, saya ingin kita sadar bahwa sebenarnya juga kita sam...
-
Gak kerasa bentar lagi udah Agustus. Jadi inget lagi masa-masa SMA gue. Apalagi bulan Agustus juga bulan yang spesial buat almamater sekolah...
-
Akhir-akhir ini saya terusik dengan kata “oknum”. Maklumlah, saya tidak tahu apa arti kata ini, tapi setiap ada sebuah kejahatan, kekelirua...
-
Sebelum bercerita, gua mau jelasin judul diatas. MU itu bukan singkatan Muntah Ulet (hoek!), Makan Ulet, maupun Minum Ulet (kok bikin contoh...
-
Aku beruntung dibesarkan dalam lingkungan orang-orang yang melek baca. Meskipun bukan berasal dari kalangan berada dan harus banyak berhem...
-
Brrrr... (bukan bermaksud iklan minuman bersoda lho) Pagi ini dingin banget. Dinginnya bukan hanya menusuk tulang sum-sum, tapi juga tulang ...
-
Sebagai anak muda, wajar donk kalo kita pengen punya hubungan lebih ama lawan jenis. Begitu juga gue, walaupun gue gak tau apa yang mesti di...
-
Oleh Dimas Adiputra Asli 100% bukan plagiat Membela sebuah tim nasional merupakan pencapaian tertinggi dalam karier seorang pesepakbola. Ada...
-
Ini tulisan saya di Rubrik OPOSAN Tabloid Bola, 13 September 2012 Sejak keluarnya Permendagri nomor 22 tahun 2011 yang melarang peng...






