Kamis, 28 Maret 2013

PENGUATAN IDENTITAS BANGSA DI TENGAH ARUS GLOBALISASI DENGAN KEMBALI PADA PANCASILA


lomba blog pusaka indonesia 2013
Oleh: Dimas Adiputra (2013)

Ide dasar globalisasi yang ingin menghilangkan sekat-sekat antar wilayah disadari maupun tidak sudah terjadi di Indonesia. Perkembangannya bahkan sangat pesat dan tidak bisa dikendalikan lagi. Globalisasi sudah masuk pada seluruh level masyarakat Indonesia dengan beragam bentuknya mulai dari sesuatu yang sangat penting sampai pada hal yang remeh temeh sekalipun.

Globalisasi tidak datang sendiri. Setiap kehadirannya selalu diikuti arus liberalisasi, yaitu suatu pemikiran yang begitu mengagungkan kebebasan dalam setiap tindakan yang dilakukan individu-individu. Jika dikelola dengan baik, liberalisasi bisa membawa peradaban yang baik bagi kehidupan manusia seperti terbukanya informasi, hadirnya partisipasi dari masyarakat, hingga terciptanya koneksi antar manusia yang terpisahkan oleh jarak. Akan tetapi globalisasi juga bisa berdampak buruk. Bagaimana tidak, dengan globalisasi yang mengarah pada liberalisasi, maka persaingan kembali pada bentuk hukum rimba.

Pola persaingan siapa kuat dia yang menang inilah yang ditakutnya akan terjadi apabila globalisasi tidak diimbangi dengan kesiapan masyarakat lokal. Tidak salah memang apabila hukum rimba dilakukan oleh pihak-pihak yang kekuatannya setara, namun apabila satu pihak mendominasi pihak yang lain maka akan muncul monopoli bahkan kolonialisasi. Globalisasi yang membawa budaya dan hal-hal baru dari bangsa lain bisa memunculkan masalah tersebut apabila masuk tanpa proteksi.

Salah satu yang terancam dengan adanya globalisasi adalah identitas bangsa. Dengan kebebasan akses informasi, masyarakat dapat memilih untuk kemudian mengikuti budaya tertentu. Jika tidak diimbangi dengan karakter identitas asli bangsa yang kuat, bukan tidak mungkin orang Indonesia justru akan lebih menghargai identitas bangsa lain dan melupakan identitas bangsanya sendiri. Untuk itulah perlu sikap bijak dalam memandang keberadaan globalisasi supaya identitas asli bangsa ini tetap kuat meskipun diterpa oleh bermacam rintangan.

Memaknai Pancasila sebagai Identitas Bangsa
Indonesia merupakan negara yang sangat luas dengan majemuk. Kemajemukan ini memang sudah ada sejak jauh sebelum negeri ini merdeka, dan ketika negara Indonesia terbentuk tidak ada yang menginginkan adanya satu dominasi sebuah budaya diatas budaya yang lain. Semua budaya diberikan hak untuk berkembang dengan kearifannya masing-masing, bahkan juga berhak untuk diperkenalkan di daerah lain supaya menambah khasanah budaya masyarakatnya. Untuk itu para founding father menggunakan Bhineka Tunggal Ika yang berarti berbeda-beda tetapi tetap satu sebagai semboyan bangsa sebagai gambaran persatuan Indonesia yang terdiri dari beragam perbedaan.

Selain Bhineka Tunggal Ika, karakter asli Indonesia tercermin melalui dasar negara yang berbentuk Pancasila. Kedua hal ini, bersama dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia dan UUD 1945 merupakan empat pilar kehidupan berbangsa dan bernegara. Pancasila mengambil peran sebagai dasar negara, UUD 1945 sebagai konstitusi negara, NKRI sebagai bentuk negara, dan Bhineka Tunggal Ika sebagai semboyan negara (Pimpinan MPR dan Tim Kerja Sosialisasi MPR Periode 2009-2014, 2012). Ke empat pilar inilah yang menjadi representasi identitas bangsa Indonesia.

Diantara ke empat pilar diatas, tanpa memperkecil peran dan kedudukan pilar-pilar yang lain, kita perlu menempatkan Pancasila sebagai bagian terpenting dari identitas Indonesia. Bagaimana tidak, selain berperan sebagai pilar negara, Pancasila juga menjadi dasar negara bahkan ideologi bangsa Indonesia. Pancasila tidak hanya berisi lima butir sila, namun penelaahan masing-masing silanya berakar pada kepribadian dan gagasan bangsa Indonesia sendiri.

Pancasila adalah bukti bahwa Indonesia memiliki identitas tersendiri sebagai sebuah negara bangsa. Indonesia mampu berdiri sebagai sebuah negara tanpa terjebak pada perbedatan klasik diantara negara-negara merdeka seperti perdebatan menjadi negara liberalis atau negara sosialis, menjadi negara agama atau negara sekuler. Pancasila justru menjadi penengah bagi pemikiran-pemikiran ekstrim tersebut dengan mengambil kebaikan dari setiap pemikiran yang ada.

Para pendiri bangsa menyusun Pancasila dengan rumusan imajinatif: negara berdasarkan atas Ketuhanan yang Maha Esa (Ali, 2010). Dengan rumusan ini, maka negara memberikan kebebasan kepada setiap agama untuk berkembang dan negara berkewajiban melindungi keberadaan agama-agama tersebut. Konsep ini tentu berbeda dengan konsep negara agama dimana ada satu agama yang menjadi dasar negara, maupun konsep negara sekuler yang menyerahkan urusan agama kepada setiap individu tanpa ada campur tangan dari negara. Selain itu perdebatan pemikiran liberal dengan sosialis dirumuskan kembali dalam bingkai sila-sila yang mengakomodasi kebutuhan keduanya: kemanusiaan yang berkeadilan sosial. Hal ini berarti keadilan harus berdasarkan pada kebaikan sosial, bukan untuk kepentingan pribadi saja.

Sayangnya sebagai sebuah identitas bangsa, Pancasila sempat kehilangan pamornya ketika Orde Baru berkuasa. Pancasila yang berisi jadi diri bangsa justru disalahgunakan untuk kepentingan penguasa. Alhasil Pancasila justru disebut-sebut sebagai musuh rakyat.

Ketika Orde Baru runtuh dan Pancasila sedang berjuang mengembalikan tempatnya sebagai identitas bangsa, globalisasi berkembang pesat dengan membawa nilai-nilai liberalisasi. Nilai-nilai baru ini entah secara sadar maupun tidak, diterima dengan baik oleh masyarakat. Masyarakat Indonesia tumbuh menjadi masyarakat yang liberal dan individualis. Mereka kehilangan identitas sebagai orang Indonesia yang terkenal sebagai masyarakat yang tidak antipasti dengan keadaan sosialnya.

Tugas berat menanti ke depan. Pancasila sebagai dasar negara sekaligus identitas bangsa harus dikembalikan ke tempat asalnya. Tidak semata-mata menjadi jargon yang harus dihapalkan, namun juga dihayati dan diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari karena pada dasarnya Pancasila mengandung nilai-nilai luhur yang diambil dari kepribadian masyarakat Indonesia sendiri.

Menurut Bung Karno sebagai penggagas utama, Pancasila memang terdiri dari lima sila, namun lima sila tersebut bisa diperas menjadi tiga sila, dan dari tiga sila tersebut akan muncul satu sila (eka sila) yang menggambarkan identitas asli Indonesia yaitu gotong royong. Inti dari Pancasila seperti yang disampaikan oleh Bung Karno memang gotong royong. Semangat gotong royong merupakan identitas asli masyarakat Indonesia dari Sabang sampai Merauke. Gotong royong menjadi suatu sistem yang dianut oleh seluruh budaya dan kearifan lokal di negara ini.

Pancasila yang utama adalah gotong royong yang diimpelemtasikan dalam ke lima sila yang ada. Prinsip ketuhanan harus berjiwa gotong royong yaitu ketuhanan yang berkebudayaan, yang lapang dan toleran. Prinsip kemanusiaan harus berjiwa gotong royong yaitu kemanusiaan yang berkeadilan dan berkeadaban. Prinsip persatuannya harus berjiwa gotong royong yaitu mengupayakan persatuan dengan tetap menghargai perbedaan (Bhineka Tunggal Ika). Prinsip demokrasinya harus berjiwa gotong royong dengan mengembangkan musyawarah mufakat. Serta prinsip keadilannya harus berjiwa gotong royong juga dengan mengembangkan partisipasi dan emansipasi di bidang ekonomi dengan semangat kekeluargaan (Pimpinan MPR dan Tim Kerja Sosialisasi MPR Periode 2009-2014, 2012).

Implementasi Pancasila seperti diatas inilah yang telah hilang di Indonesia. Masyarakatnya mulai melupakan Pancasila dengan semangat gotong royongnya dan diganti oleh liberalisasi. Globalisasi yang membawa prinsip-prinsip persaingan bebas dengan menghilangkan batas-batas wilayah mau tidak mau menjadikan masyarakat Indonesia berpikir individualis supaya bisa bertahan di dalam persaingan bebas ini.

Akibat penerimaan globalisasi tanpa adanya filterisasi, struktur masyarakat Indonesia berubah ke arah yang buruk. Atas nama membela agamanya, orang-orang melakukan penyerangan dan pengucilan terhadap penganut agama tertentu. Prinsip kemanusiaannya berubah menjadi pergaulan kemanusiaan yang menjajah dan eksploitatif. Tidak ada lagi toleransi terhadap perbedaan sehingga memecah persatuan. Prinsip demokrasinya menjadi ajang monopoli suara mayoritas maupun minoritas elit dan penguasa modal. Prinsip keadilan ekonomi sosial pun pada akhirnya bubar diganti kesejahteraan berbasis individualisme-kapitalisme.

Oleh karena itu menjaga identitas bangsa dari ancaman globalisasi yang liberal berarti harus menumbuhkan kembali semangat gotong royong. Gotong royong sebagai intisari dari Pancasila dan identitas bangsa Indonesia tidak boleh hilang karena terjangan globalisasi. Masyarakat Indonesia harus membuktikan kepada dunia bahwa Indonesia adalah negara besar dengan prinsip yang melekat pada setiap hati sanubari masyarakatnya. Prinsip ini berbentuk Pancasila.

Daftar Pustaka
Ali, As’as Said. 2010. Negara Pancasila. Jakarta: Pustaka LPES.
Pimpinan MPR dan Tim Kerja Sosialisasi MPR Periode 2009-2014. 2012. Empat Pilar Kehidupan Berbangsa dan Bernegara. Jakarta: Sekretariat Jendral MPR RI.

Popular Posts