Sabtu, 20 April 2013

KEGAGALAN NEGARA MEMBERIKAN PELAYANAN PUBLIK DALAM KASUS KA PRAMEKS


Perubahan biasanya terjadi untuk merubah keadaan menjadi lebih baik. Perubahan dilakukan karena ada sesuatu yang kurang pada pelaksanaan sebelumnya. Namun hakikat perubahan tersebut tidak berlaku pada keberadaan kereta api Prambanan Ekspres (KA Prameks), setidaknya apabila dilihat dari sudut pandang si pengguna. Dalam setiap perubahan kebijakannya, Prameks justru menunjukkan wajah yang semakin tidak bersahabat dengan para penumpang.

Foto KA Prameks
(http://protespublik.com/prambanan-ekspres-antara-kebutuhan-layanan-seri-3/)

Naiknya tarif hingga pengurangan jadwal merupakan satu dari sekian banyak perubahan yang sudah terjadi dalam pengoperasian KA Prameks. Kini bertambah lagi perubahan yang membuat Prameks semakin tidak nyaman digunakan sebagai transportasi umum, yaitu terkait perubahan jadwal operasional KA Prameks. Perubahan yang berdampak negatif ini dirasakan oleh penumpang yang menggunakan KA Prameks dari dan ke Kutoarjo pada jadwal keberangkatan terakhir.

Dalam jadwal KA Prameks terbaru, kereta terakhir yang berangkat dari Kutoarjo mundur satu jam dari jadwal semula menjadi sekitar pukul 19.00. Hal itu berarti KA Prameks yang berangkat dari Solo juga sampai di Kutoarjo pada jam 7 kurang. Sepintas jadwal baru ini normal-normal saja, namun bagi sebagian masyarakat pengguna, jadwal ini sangat tidak bersahabat dengan mereka terutama pada akhir pekan dan saat libur panjang.

Sudah bukan rahasia jika KA Prameks digunakan tidak hanya oleh masyarakat yang berdomisili di daerah yang dilewati KA Prameks seperti Yogyakarta, Purworejo, maupun Solo, namun juga daerah lain disekitarnya seperti Kebumen. Bagi masyarakat asal Kebumen yang akan menaiki KA Prameks maka mereka harus terlebih dahulu pergi ke stasiun Kutoarjo yang terletak di kabupetan Purworejo. Jarak yang lumayan jauh karena Kebumen-Kutoarjo biasanya ditempuh selama satu jam menggunakan kendaraan umum (bus), bahkan jarak Gombong (salah satu kecamatan paling barat di Kebumen) – Kutoarjo waktu tempuhnya lebih dari 1,5 jam.

Masalah muncul dengan jadwal baru KA Prameks karena kedatangan kereta di stasiun Kutoarjo menjadi pukul 7 malam. Jika di hari biasa mungkin tidak menimbulkan masalah, namun lain cerita apabila akhir pekan maupun libur panjang tiba. Pada waktu-waktu tersebut penumpang pasti membludak bahkan tidak jarang banyak penumpang yang kecewa karena tidak kebagian tiket. Apabila tidak kebagian tiket, lalu mereka akan menggunakan moda transportasi apa mengingat setelah Maghrib bis ekonomi lokal yang biasanya beroperasi dari Purwokerto-Jogja/Solo dan sebaliknya sudah jarang ditemukan? Masyarakat hanya punya pilihan menggunakan travel atau bus ekonomi lokal jarak jauh (AKAP) yang tentu tarifnya lebih mahal jika dibandingkan dengan tiket KA Prameks maupun bus ekonomi lokal.

Tidak hanya itu, jadwal baru KA Prameks juga membuat sebagian masyarakat yang turun di stasiun Kutoarjo kesulitan mendapatkan angkutan yang bisa mengantarkan mereka sampai Kebumen. Lagi-lagi setelah Maghrib jarang ada bus ekonomi lokal yang lewat. Biasanya hanya ada satu bus jurusan akhir Kebumen-Gombong dan satu angkutan jurusan akhir Prembun (wilayah Kebumen bagian timur) yang stand by di dekat stasiun Kutoarjo. Bus dengan jurusan yang sama baru akan lewat setengah jam lagi atau lebih.

Kondisi ini membuat para penumpang dengan tujuan akhir Kebumen-Gombong harus berdesakan di dalam bus. Penuhnya penumpang di dalam bus seperti saat musim mudik lebaran tiba. Bus yang sudah penuh terus dipaksakan untuk memuat lebih banyak orang karena memang banyak orang yang mengantri untuk naik. Sungguh sebuah pemandangan yang tidak manusiawi, tapi bagaimana lagi hanya dengan cara ini mereka bisa bertemu keluarga kembali.

Foto: Ilustrsi Penuh Sesaknya Penumpang dalam Bus setelah Turun dari KA Prameks di St. Kutoarjo
(http://toplustysae.blogspot.com/2012/02/berdesakan-di-atas-bus.html)

Jika sudah begini, dimanakah peran negara? Bukankah salah satu tugas negara adalah memberikan pelayanan publik? Seharusnya negara tidak hanya sekedar memberikan pelayanan, namun juga harus melayani dengan baik supaya masyarakat merasa nyaman. Sayangnya pengoperasian KA Prameks dengan malah memberikan contoh sebuah pelayanan publik yang buruk. Perubahan yang dilakukan tidak memperhatikan kebutuhan masyarakat penggunanya karena pastilah saat keputusan tersebut dibuat masyarakat memang tidak dilibatkan.

Saya sangat berharap PT KAI mau mengubah kembali jadwal KA Prameks dengan waktu yang lebih bersahabat, terutama bagi para penumpang yang tidak berasal dari daerah yang dilewati KA Prameks. Mahasiswa dan para pekerja sebagai golongan penumpang terbesar sangat membutuhkan keberadaan KA Prameks karena moda transportasi inilah yang dirasa cocok dengan kantong mereka. Ketergantungan masyarakat terhadap KA Prameks seharusnya tidak malah disikapi dengan peraturan-peraturan sekarepe dewe oleh para pengambil kebijakan. Apalagi bukankah pemerintah sendiri yang menghimbau kepada masyarakat supaya menggunakan kendaraan umum daripada kendaraan pribadi? Jika transportasi umunya saja tidak memperhatikan kebutuhan masyarakat, maka jangan salahkan masyarakat jika enggan menggunakan kendaraan umum. Contohnya ya saya ini yang lebih sering menggunakan kendaraan pribadi untuk pulang pergi Kebumen-Jogja. Gunakan KA Prameks seperlunya saja selama kebijakan-kebijakannya tidak menyulitkan kita.

HIDUP KENDARAAN PRIBADI SELAMA LOGIKA NEGARA DALAM MEMBERIKAN PELAYANAN PUBLIK BERUPA MODA TRANSPORTASI UMUM MASSAL TERKESAN SETENGAH HATI!

Selasa, 16 April 2013

GANJAR-HERU PASANGAN SALING MELENGKAPI


Tidak ada yang menyangsikan bahwa Jawa Tengah identik dengan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P). Sejak reformasi 1998, partai berlambang banteng ini selalu menang dalam pemilu dengan angka mutlak. Bahkan sejak pemilihan langsung kepala daerah diperkenalkan pada tahun 2004, banyak tokoh PDI-P yang memegang jabatan eksekutif di tingkat daerah mulai dari Bupati-Wakil Bupati, hingga Gubernur-wakil Gubernur di wilayah Jawa Tengah.
Kuatnya dukungan bagi PDI-Perjuangan di Jawa Tengah membuat partai ini menjadi muara bagi pihak-pihak yang ingin bertarung dalam setiap pemilihan, tidak terkecuali pada Pilkada Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Tengah 2013. Lihatlah para calon yang akan bertarung nanti, semuanya memiliki keterkaitan dengan PDI-P. Ganjar Pranowo tanpa kita ragukan lagi merupakan salah satu kader terbaik yang dimiliki PDI-P. Bibit Waluyo yang dalam pilgub kali ini didukung Partai Demokrat, Partai Golkar dan PAN, bisa menjadi gubernur pada periode 2008-2013 karena dicalonkan oleh PDI-P. Hadi Prabowo sebelum maju lewat kendaraan PKS, PKB, PPP, Partai Gerindra, Partai Hanura, dan PKNU  juga mendaftar sebagai bakal calon gubernur dari PDI-P. Bahkan sebelum penentuan siapa yang diusung PDI-Perjuangan, selebaran fotonya dengan background PDI-P banyak saya temukan di jalan-jalan Kabupaten Kebumen, tempat saya tinggal.
Namun status sebagai partai terbesar di Jawa Tengah tidak serta merta membuat PDI-P sembarangan dalam menentukan calon yang akan diusung. Dalam kepercayaan besar warga Jawa Tengah terhadap PDI-P terkandung tanggung jawab yang besar pula. Apalagi dalam pilgub kali ini calon yang mendaftar lewat bendera PDI-P merupakan tokoh-tokoh besar dengan reputasi gemilangnya masing-masing. Maka kekecewaan sebagian masyarakat karena pilihannya tidak diusung PDI-P menjadi hal yang lumrah, terutama para pendukung Rustriningsih yang kerap mempertanyakan mengapa Ganjar Pranowo yang akhirnya diusung PDI-P untuk maju dalam pilgub Jateng.

Foto: http://news.liputan6.com/read/531992/ganjar-pranowo-akan-temui-rustriningsih
      
Kekecewaan, lebih tepatnya keheranan juga sempat saya rasakan di awal. Rustriningsih adalah wakil gubernur saat ini, tahu banyak tentang kondisi masyarakat Jawa Tengah, dan salah satu kader loyal PDI-P. Apalagi beliau berasal dari Kebumen, sama seperti daerah asal saya. Dengan segala track record-nya, cukup mengherankan apabila Bu Rustri, begitu sapaan akrabnya tidak maju dalam pilgub Jateng.
Akan tetapi Ganjar Pranowo juga bukan sosok yang salah untuk dipilih. Saya mengenal beliau dalam beberapa seminar di kampus dan beberapa kegiatan ekstra kampus. Dari situlah saya tahu Pak Ganjar memiliki pemikiran yang progresif, punya beberapa ide pemecahan masalah yang konkret, dan selalu hadir dengan gagasan-gagasan orisinil. Terlebih lagi jabatannya sebagai wakil ketua komisi II DPR RI di usia 41 tahun membuktikan bahwa beliau memiliki kapasitas di usia yang masih muda.
Memperdebatkan siapa yang lebih baik diantara Rustriningsih dan Ganjar Pranowo rasanya kurang tepat. Masing-masing merupakan tokoh besar dengan segudang prestasi tersendiri. Bu Rustri dan Pak Ganjar juga tokoh penting dan loyal dalam lingkup PDI-Perjuangan. Keduanya sama-sama luar biasa.
Terpilihnya Ganjar Pranowo sebagai calon gubernur menurut saya lebih kepada strategi untuk memenangkan pemilukada di Jawa Tengah. Setidaknya dengan berkaca pada hasil-hasil pemilihan di daerah lain dapat terlihat mengapa pada akhirnya Ganjar Pranowo-Heru Sudjatmoko yang diusung PDI-Perjuangan. Pertama, pasangan Ganjar-Heru merupakan representasi semua kalangan. Ganjar-Heru merupakan pasangan yang saling melengkapi karena  mewakili tokoh muda-tua, birokrat-non birokrat, pekerja ruangan-lapangan, hingga mewakili seluruh wilayah yang ada di Jawa Tengah.
Prestasi Heru Sudjatmoko ketika menjabat sebagai wakil bupati (2005-2010) dan bupati (2010-sekarang) Purbalingga tentu membuatnya banyak dikenal masyarakat. Terlebih lagi kebijakannya kental dengan semangat menyejahterakan rakyat kecil diantaranya dengan menarik pulang para TKI dan memberi pekerjaan sebagai karyawan perusahaan rambut dan bulu mata palsu hingga Purbalingga menjadi daerah industri rambut dan bulu mata palsu terbesar kedua di dunia. Belum lagi perannya di eks Karesidenen Banyumas dan Kabupaten Kebumen lewat kerjasama antar daerah Barlingmascakeb, yang tentu semakin mengibarkan namanya.
Foto: http://hariansemarangbanget.blogspot.com/2013/03/pdip-akhirnya-usung-ganjar-pranowo-heru.html


Sementara itu Ganjar Pranowo memiliki basis popularitas yang berbeda. Ganjar terkenal di generasi muda karena sering menghadiri acara seminar kampus. Terlebih lagi wajahnya kerap menghiasi layar televisi lewat suaranya yang vokal di parlemen dengan pemikiran-pemikiran yang segar dan cerdas. Ini tentu menjadi daya tarik tersendiri bagi golongan muda yang selalu menuntut perubahan.
Tidak hanya dalam hal popularitas, berdasarkan latar belakang keduanya, Ganjar-Heru juga menjadi sosok yang saling melengkapi. Ganjar yang kental dengan latar belakang kegiatan organisasi di luar pemerintahan dilengkapi Heru dengan background birokratnya. Ganjar-Heru juga dapat menjadi representasi legislatif nasional-eksekutif daerah, seperti pola pemasangan Jokowi-Ahok dalam pilgub DKI Jakarta.
Alasan kedua dibalik terpilihnya pasangan Ganjar-Heru adalah untuk melawan calon-calon lain. Sudah bukan rahasia lagi apabila dua calon gubernur lain merupakan orang dalam di pemerintahan Jawa Tengah. Bibit Waluyo sebagai gubernur petahana sementara Hadi Prabowo menjabat sekda Jawa Tengah. Apabila PDI-Perjuangan mengusung Rustriningsih yang menjabat wakil gubernur, lantas apa bedanya dengan kedua calon yang lain? Tidak akan banyak perubahan yang ditawarkan karena ketiganya berpegang pada cara pandang yang sama sebagai orang dalam pemerintahan.
Padahal untuk dapat menarik hati masyarakat, ada dua posisi saling berseberangan yang diperebutkan dalam setiap pemilukada yaitu menjadi calon incumbent atau calon dari oposisi. Incumbent mendasarkan janji politiknya pada kelanjutan program kerja, sementara oposisi menawarkan program-progam perubahan. Apabila PDI-Perjuangan mengusung Bu Rustri, bagaimana posisinya? Apakah akan menawarkan kelanjutan program dari pemangku jabatan saat ini atau menawarkan perubahan? Jika janji politik Bu Rustri adalah melanjutkan program pemerintah saat ini, bukankah hal tersebut sama dengan program Pak Bibit dan Pak Hadi? Jika Bu Rustri memilih program perubahan, bukankah kurang layak karena beliau juga termasuk di dalam struktur pemerintahan? Disinilah Pak Ganjar muncul supaya PDI-Perjuangan bisa fokus pada agenda perubahan yang ditawarkan.
Alasan kedua diatas juga berkaitan dengan alasan ketiga yaitu tidak banyak seorang wakil yang bisa menang apabila bersaing dengan incumbent. Saya menggunakan kegagalan Dede Yusuf dalam pilgub Jabar beberapa waktu yang lalu dan juga kegagalan Jusuf Kalla dalam pemilihan presiden 2009 sebagai contoh. Dalam sebuah sistem pemilihan yang berpasangan, pecahnya kongsi sebenarnya hal yang tabu. Calon yang awalnya saling berpasangan namun kemudian berbalik menjadi pesaing seperti menjadi bukti tidak berjalannya manajemen komunikasi diantaranya keduanya. Parahnya lagi, hal ini seringkali tidak menguntungkan bagi sang wakil yang dianggap haus kekuasaan, siap menelikung dari belakang, hingga tidak mampu bekerja sama dengan atasannya.
Selain itu jabatan sebagai seorang wakil juga seringkali berada dalam situasi dilematis. Wakil selama ini hanya dianggap sebagai pembantu sang pemimpin. Apa yang dikerjakan oleh seorang wakil seolah-olah selalu perintah dari atasannya. Oleh karena itu keberhasilan sebuah program akan membuahkan puja-puji bagi sang pemimpin meskipun orang yang lebih berjasa sebenarnya adalah sang wakil.
Tidak percaya? Setidaknya ini yang dirasakan oleh Jusuf Kalla. Beliau merupakan orang yang paling berperan dalam perdamaian di bumi Aceh, tapi mengapa dalam pemilu presiden maupun pemilu legislatif justru SBY dengan Partai Demokrat-nya yang mendulang kemenangan mutlak? Berdasarkan buku yang saya baca (salah satu dari tetralogi buku sisi lain SBY karya Wisnu Nugroho) dimata masyarakat Aceh, JK hanya dianggap orang yang diutus presiden untuk menyelesaikan konflik di Serambi Mekah. Meskipun peran presiden tidak terlihat, namun menurut mereka presidenlah sosok yang paling berjasa.
Fenomena-fenomena seperti inilah yang ditakutkan akan berkembang dalam pemilihan gubernur Jawa Tengah kelak apabila PDI-Perjuangan memaksakan Rustriningsih untuk maju. Beliau ada di posisi sulit karena keberhasilan program selalu menguntungkan gubernur, sementara kegagalan sebuah program menjadi tanggung jawab keduanya.
Jadi tersisihnya Bu Rustri dalam bursa bakal calon gubernur yang diusung PDI-Perjuangan bukan karena salah satu calon lebih baik daripada calon yang lain, namun karena situasi dan kondisi politik di Jawa Tengah yang tidak memungkikan bagi Bu Rustri untuk maju. Secara kualitas individu, Rustriningsih dan Ganjar Pranowo adalah kader-kader terbaik. Akan tetapi keputusan politik tentu tidak ditentukan oleh kualitas pribadi semata. Ada banyak faktor lain yang terus berkembang dan perlu dicari solusinya supaya tujuan memenangkan pemilihan gubernur dan wakil gubernur Jawa Tengah dan menyejahterakan masyarakatnya dapat terwujud.
Ada baiknya para loyalis Rustriningsih memberikan suaranya untuk pasangan Ganjar-Heru. Bagaimanapunn juga kepentingan bersama harus diutamakan daripada kepentingan pribadi. Perpecahan hanya akan berakibat buruk dengan tidak tercapainya tujuan utama. Apalagi Bu Rustri tentu paham bahwa PDI-P harus tetap satu suara jika tidak ingin keunggulan basis massa yang sudah terbentuk menjadi sia-sia karena adanya perpecahan. Kegagalan PDI-Perjuangan dalam memenangkan calonnya pada pilkada Kabupaten Kebumen tahun 2010 lalu karena pecahnya dukungan suara tidak boleh terjadi lagi di pemilihan gubernur dan wakil gubernur Jawa Tengah 2013.

Popular Posts