Tidak
ada yang menyangsikan bahwa Jawa Tengah identik dengan Partai Demokrasi
Indonesia Perjuangan (PDI-P). Sejak reformasi 1998, partai berlambang banteng
ini selalu menang dalam pemilu dengan angka mutlak. Bahkan sejak pemilihan
langsung kepala daerah diperkenalkan pada tahun 2004, banyak tokoh PDI-P yang
memegang jabatan eksekutif di tingkat daerah mulai dari Bupati-Wakil Bupati,
hingga Gubernur-wakil Gubernur di wilayah Jawa Tengah.
Kuatnya
dukungan bagi PDI-Perjuangan di Jawa Tengah membuat partai ini menjadi muara
bagi pihak-pihak yang ingin bertarung dalam setiap pemilihan, tidak terkecuali
pada Pilkada Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Tengah 2013. Lihatlah para calon
yang akan bertarung nanti, semuanya memiliki keterkaitan dengan PDI-P. Ganjar
Pranowo tanpa kita ragukan lagi merupakan salah satu kader terbaik yang
dimiliki PDI-P. Bibit Waluyo yang dalam pilgub kali ini didukung Partai
Demokrat, Partai Golkar dan PAN, bisa menjadi gubernur pada periode 2008-2013
karena dicalonkan oleh PDI-P. Hadi Prabowo sebelum maju lewat kendaraan PKS,
PKB, PPP, Partai Gerindra, Partai Hanura, dan PKNU juga mendaftar sebagai bakal calon gubernur
dari PDI-P. Bahkan sebelum penentuan siapa yang diusung PDI-Perjuangan, selebaran
fotonya dengan background PDI-P banyak saya temukan di jalan-jalan Kabupaten
Kebumen, tempat saya tinggal.
Namun
status sebagai partai terbesar di Jawa Tengah tidak serta merta membuat PDI-P
sembarangan dalam menentukan calon yang akan diusung. Dalam kepercayaan besar
warga Jawa Tengah terhadap PDI-P terkandung tanggung jawab yang besar pula.
Apalagi dalam pilgub kali ini calon yang mendaftar lewat bendera PDI-P
merupakan tokoh-tokoh besar dengan reputasi gemilangnya masing-masing. Maka
kekecewaan sebagian masyarakat karena pilihannya tidak diusung PDI-P menjadi
hal yang lumrah, terutama para pendukung Rustriningsih yang kerap
mempertanyakan mengapa Ganjar Pranowo yang akhirnya diusung PDI-P untuk maju
dalam pilgub Jateng.
 |
| Foto: http://news.liputan6.com/read/531992/ganjar-pranowo-akan-temui-rustriningsih |
Kekecewaan,
lebih tepatnya keheranan juga sempat saya rasakan di awal. Rustriningsih adalah
wakil gubernur saat ini, tahu banyak tentang kondisi masyarakat Jawa Tengah,
dan salah satu kader loyal PDI-P. Apalagi beliau berasal dari Kebumen, sama
seperti daerah asal saya. Dengan segala track
record-nya, cukup mengherankan apabila Bu Rustri, begitu sapaan akrabnya
tidak maju dalam pilgub Jateng.
Akan
tetapi Ganjar Pranowo juga bukan sosok yang salah untuk dipilih. Saya mengenal
beliau dalam beberapa seminar di kampus dan beberapa kegiatan ekstra kampus.
Dari situlah saya tahu Pak Ganjar memiliki pemikiran yang progresif, punya
beberapa ide pemecahan masalah yang konkret, dan selalu hadir dengan
gagasan-gagasan orisinil. Terlebih lagi jabatannya sebagai wakil ketua komisi
II DPR RI di usia 41 tahun membuktikan bahwa beliau memiliki kapasitas di usia
yang masih muda.
Memperdebatkan
siapa yang lebih baik diantara Rustriningsih dan Ganjar Pranowo rasanya kurang
tepat. Masing-masing merupakan tokoh besar dengan segudang prestasi tersendiri.
Bu Rustri dan Pak Ganjar juga tokoh penting dan loyal dalam lingkup
PDI-Perjuangan. Keduanya sama-sama luar biasa.
Terpilihnya
Ganjar Pranowo sebagai calon gubernur menurut saya lebih kepada strategi untuk
memenangkan pemilukada di Jawa Tengah. Setidaknya dengan berkaca pada
hasil-hasil pemilihan di daerah lain dapat terlihat mengapa pada akhirnya
Ganjar Pranowo-Heru Sudjatmoko yang diusung PDI-Perjuangan. Pertama, pasangan
Ganjar-Heru merupakan representasi semua kalangan. Ganjar-Heru merupakan
pasangan yang saling melengkapi karena
mewakili tokoh muda-tua, birokrat-non birokrat, pekerja
ruangan-lapangan, hingga mewakili seluruh wilayah yang ada di Jawa Tengah.
Prestasi
Heru Sudjatmoko ketika menjabat sebagai wakil bupati (2005-2010) dan bupati
(2010-sekarang) Purbalingga tentu membuatnya banyak dikenal masyarakat.
Terlebih lagi kebijakannya kental dengan semangat menyejahterakan rakyat kecil diantaranya
dengan menarik pulang para TKI dan memberi pekerjaan sebagai karyawan
perusahaan rambut dan bulu mata palsu hingga Purbalingga menjadi daerah
industri rambut dan bulu mata palsu terbesar kedua di dunia. Belum lagi
perannya di eks Karesidenen Banyumas dan Kabupaten Kebumen lewat kerjasama
antar daerah Barlingmascakeb, yang tentu semakin mengibarkan namanya.
Sementara
itu Ganjar Pranowo memiliki basis popularitas yang berbeda. Ganjar terkenal di
generasi muda karena sering menghadiri acara seminar kampus. Terlebih lagi wajahnya
kerap menghiasi layar televisi lewat suaranya yang vokal di parlemen dengan
pemikiran-pemikiran yang segar dan cerdas. Ini tentu menjadi daya tarik
tersendiri bagi golongan muda yang selalu menuntut perubahan.
Tidak
hanya dalam hal popularitas, berdasarkan latar belakang keduanya, Ganjar-Heru
juga menjadi sosok yang saling melengkapi. Ganjar yang kental dengan latar
belakang kegiatan organisasi di luar pemerintahan dilengkapi Heru dengan background birokratnya. Ganjar-Heru juga
dapat menjadi representasi legislatif nasional-eksekutif daerah, seperti pola
pemasangan Jokowi-Ahok dalam pilgub DKI Jakarta.
Alasan
kedua dibalik terpilihnya pasangan Ganjar-Heru adalah untuk melawan calon-calon
lain. Sudah bukan rahasia lagi apabila dua calon gubernur lain merupakan orang
dalam di pemerintahan Jawa Tengah. Bibit Waluyo sebagai gubernur petahana
sementara Hadi Prabowo menjabat sekda Jawa Tengah. Apabila PDI-Perjuangan
mengusung Rustriningsih yang menjabat wakil gubernur, lantas apa bedanya dengan
kedua calon yang lain? Tidak akan banyak perubahan yang ditawarkan karena
ketiganya berpegang pada cara pandang yang sama sebagai orang dalam
pemerintahan.
Padahal
untuk dapat menarik hati masyarakat, ada dua posisi saling berseberangan yang
diperebutkan dalam setiap pemilukada yaitu menjadi calon incumbent atau calon
dari oposisi. Incumbent mendasarkan janji politiknya pada kelanjutan program
kerja, sementara oposisi menawarkan program-progam perubahan. Apabila
PDI-Perjuangan mengusung Bu Rustri, bagaimana posisinya? Apakah akan menawarkan
kelanjutan program dari pemangku jabatan saat ini atau menawarkan perubahan? Jika
janji politik Bu Rustri adalah melanjutkan program pemerintah saat ini,
bukankah hal tersebut sama dengan program Pak Bibit dan Pak Hadi? Jika Bu
Rustri memilih program perubahan, bukankah kurang layak karena beliau juga
termasuk di dalam struktur pemerintahan? Disinilah Pak Ganjar muncul supaya
PDI-Perjuangan bisa fokus pada agenda perubahan yang ditawarkan.
Alasan
kedua diatas juga berkaitan dengan alasan ketiga yaitu tidak banyak seorang
wakil yang bisa menang apabila bersaing dengan incumbent. Saya menggunakan
kegagalan Dede Yusuf dalam pilgub Jabar beberapa waktu yang lalu dan juga
kegagalan Jusuf Kalla dalam pemilihan presiden 2009 sebagai contoh. Dalam
sebuah sistem pemilihan yang berpasangan, pecahnya kongsi sebenarnya hal yang
tabu. Calon yang awalnya saling berpasangan namun kemudian berbalik menjadi
pesaing seperti menjadi bukti tidak berjalannya manajemen komunikasi
diantaranya keduanya. Parahnya lagi, hal ini seringkali tidak menguntungkan
bagi sang wakil yang dianggap haus kekuasaan, siap menelikung dari belakang,
hingga tidak mampu bekerja sama dengan atasannya.
Selain
itu jabatan sebagai seorang wakil juga seringkali berada dalam situasi
dilematis. Wakil selama ini hanya dianggap sebagai pembantu sang pemimpin. Apa
yang dikerjakan oleh seorang wakil seolah-olah selalu perintah dari atasannya.
Oleh karena itu keberhasilan sebuah program akan membuahkan puja-puji bagi sang
pemimpin meskipun orang yang lebih berjasa sebenarnya adalah sang wakil.
Tidak
percaya? Setidaknya ini yang dirasakan oleh Jusuf Kalla. Beliau merupakan orang
yang paling berperan dalam perdamaian di bumi Aceh, tapi mengapa dalam pemilu
presiden maupun pemilu legislatif justru SBY dengan Partai Demokrat-nya yang
mendulang kemenangan mutlak? Berdasarkan buku yang saya baca (salah satu dari
tetralogi buku sisi lain SBY karya Wisnu Nugroho) dimata masyarakat Aceh, JK
hanya dianggap orang yang diutus presiden untuk menyelesaikan konflik di
Serambi Mekah. Meskipun peran presiden tidak terlihat, namun menurut mereka
presidenlah sosok yang paling berjasa.
Fenomena-fenomena
seperti inilah yang ditakutkan akan berkembang dalam pemilihan gubernur Jawa
Tengah kelak apabila PDI-Perjuangan memaksakan Rustriningsih untuk maju. Beliau
ada di posisi sulit karena keberhasilan program selalu menguntungkan gubernur,
sementara kegagalan sebuah program menjadi tanggung jawab keduanya.
Jadi
tersisihnya Bu Rustri dalam bursa bakal calon gubernur yang diusung
PDI-Perjuangan bukan karena salah satu calon lebih baik daripada calon yang
lain, namun karena situasi dan kondisi politik di Jawa Tengah yang tidak
memungkikan bagi Bu Rustri untuk maju. Secara kualitas individu, Rustriningsih
dan Ganjar Pranowo adalah kader-kader terbaik. Akan tetapi keputusan politik
tentu tidak ditentukan oleh kualitas pribadi semata. Ada banyak faktor lain
yang terus berkembang dan perlu dicari solusinya supaya tujuan memenangkan
pemilihan gubernur dan wakil gubernur Jawa Tengah dan menyejahterakan
masyarakatnya dapat terwujud.
Ada
baiknya para loyalis Rustriningsih memberikan suaranya untuk pasangan
Ganjar-Heru. Bagaimanapunn juga kepentingan bersama harus diutamakan daripada
kepentingan pribadi. Perpecahan hanya akan berakibat buruk dengan tidak
tercapainya tujuan utama. Apalagi Bu Rustri tentu paham bahwa PDI-P harus tetap
satu suara jika tidak ingin keunggulan basis massa yang sudah terbentuk menjadi
sia-sia karena adanya perpecahan. Kegagalan PDI-Perjuangan dalam memenangkan
calonnya pada pilkada Kabupaten Kebumen tahun 2010 lalu karena pecahnya
dukungan suara tidak boleh terjadi lagi di pemilihan gubernur dan wakil
gubernur Jawa Tengah 2013.