Jumat, 23 Agustus 2013

MARI KITA SEBUT MEREKA SEBAGAI OKNUM

Akhir-akhir ini saya terusik dengan kata “oknum”. Maklumlah, saya tidak tahu apa arti kata ini, tapi setiap ada sebuah kejahatan, kekeliruan, ataupun hal negatif lain yang dilakukan oleh seseorang maupun sekelompok orang dari sebuah institusi, kata “oknum” langsung terucap. Tidak hanya diucapkan namun dijadikan kambing hitam.

Tidak ingin menjadi korban media yang selalu mengkambinghitamkan “oknum’, saya penasaran untuk mencari arti “oknum” sebenarnya. Menurut KBBI, definisi okum adalah sebagai berikut

Definisi Oknum, sumber http://bahasa.cs.ui.ac.id/kbbi/kbbi.php?keyword=oknum&varbidang=all&vardialek=all&varragam=all&varkelas=all&submit=tabel


Tidak cukup puas dengan definisi tersebut, karena otak saya tidak dapat menangkap keseluruhan makna yang disajikan, saya mencari definisi lain. Ketemulah saya dengan definisi seperti di gambar bawah ini:

definisi oknum, sumber http://id.answers.yahoo.com/question/index?qid=20110628004418AAduA0c


Dari dua penjelasan diatas, maka arti kata “oknum” dapat disimpulkan sebagai tindakan seseorang yang tidak mewakili institusi atau lembaga yang menaunginya. Tapi masih menjadi perdebatan apakah kata “oknum” hanya disebut ketika seseorang melakukan hal yang negatif saja, atau orang yang melakukan hal positif juga layak disebut oknum.

Selama ini kata “oknum” hanya muncul pada kegiatan negatif yang dilakukan seseorang. Polisi yang memalak warga misalnya, tukang parkir dalam sebuah paguyuban yang menaikkan tarif semaunya sendiri, pegawai pajak yang berperan dalam suap menyuap, birokrat yang bermain proyek, maupun anggota dewan yang menilep uang rakyat. Lembaga tidak mau disalahkan atas setiap perilaku buruk seorang anggotanya, sekalipun perilaku tersebut dilakukan oleh banyak anggota dan sudah menjadi rahasia umum di masyarakat. Mereka selalu berlindung di balik tameng “oknum” untuk menyelesaikan masalah yang sebenarnya terjadi karena sistemnya mendukung terjadinya penyimpangan tersebut.

Oknum disematkan pada minoritas orang yang melakukan penyimpangan. Namun jika penyimpangan tersebut (mungkin) dilakukan oleh banyak orang, apakah kata “oknum” masih layak disebut? Misalkan rasio polisi, pegawai pajak, anggota DPR/DPRD dan birokrat yang “tidak jujur” lebih banyak dari yang “jujur dan bekerja sepenuh hati”, apakah kata oknum masih layak diberikan bagi mereka yang menyimpang? Ataukah sudah saatnya bagi kita untuk melabeli mereka yang jujur dengan sebutan oknum karena jumlahnya yang kian hari semakin sedikit? Mungkin saja.


Mari membiasakan diri menyebut mereka yang jujur yang jumlahnya semakin sedikit itu sebagai “oknum”.

Yogyakarta, 24 Agustus 2013

Jumat, 17 Mei 2013

JOGJA KOTA PARKIR


Kalau dalam peribahasa dikenal “Ada gula ada semut”, maka di Yogyakarta berlaku hukum “Dimana ada keramaian, pasti di situ ada tukang parkir”.

Parkir berbayar tampaknya sudah menjadi hal yang lumrah saat ini. Ketika kita membawa kendaraan, maka kita juga harus siap mengeluarkan dana ekstra untuk biaya parkir. Sebenarnya hal itu sah-sah saja asal keberadaannya membantu pemilik kendaraan dan tentu saja resmi.

Idealnya parkir berbayar hanya ditemui pada tempat-tempat tertentu yang memang memerlukan penjagaan karena kita sedang berada jauh dari kendaraan kita. Tukang parkir umumnya beroperasi di kompleks pertokoan di jalan besar, mal, tempat hiburan, maupun tempat wisata. Di tempat-tempat seperti itu keberadaan tukang parkir dibutuhkan karena kita sebagai pemilik kendaraan memang membutuhkan jasanya. Namun dalam perkembangannya, tukang parkir yang menarik biaya telah merambah ke hampir semua tempat. Tidak peduli apakah kita membutuhkan jasanya, tanpa peduli padahal kita masih bisa menjaga kendaraan sendiri, mereka tetap saja ada dan dengan seenak hati menarik bayaran. Prinsipnya ada sedikit saja keramaian dengan kendaraan yang berjejer-jejer, maka mereka dengan cepat akan datang. Mereka bak semut yang melihat tumpukan gula.

Fenomena seperti itu sangat terasa di tempat saya tinggal dalam empat tahun terakhir ini: Yogyakarta. Keberadaan tukang parkir, terutama yang liar (tanpa karcis dan tidak dipekerjakan pemerintah) sangat banyak jumlahnya. Mereka ada dimana-mana, mulai jalan yang berstatus jalan nasional sampai gang-gang kecil di sekitar perkampungan masyarakat. Dari yang mangkal di depan toko megah sampai di warung-warung kecil yang terselip di sudut kota.

Di Yogyakarta, keberadaan tukang parkir liar sudah sampai pada level yang menjengkelkan sekaligus mengkhawatirkan. Menjengkelkan karena mereka ada dimana-mana serta kehadirannya sebenarnya tidak diperlukan, mengkhawatirkan karena itu mengancam persediaan uang (bagi saya yang seorang mahasiswa) sekaligus beresiko menimbulkan efek domino di tempat-tempat lain. Di Yogyakarta, tukang parkir liar sudah menjalar sampai ATM, angkringan yang ramai, kios fotocopy sederhana, sampai warung-warung yang kerap didatangi mahasiswa.

Apa kegunaan mereka di tempat-tempat seperti itu? Ketika kita ke ATM, berapa lama memangnya di sana? Begitu juga ketika kita di tempat fotocopy-an, barangkali uang yang kita bayarkan untuk parkir lebih banyak dibandingkan harga file yang difotocopy. Kemudian, ketika kita makan di angkringan, apa pantas ditarik uang parkir padahal kendaraan kita berdiri persis di samping kita? Atau mungkin ketika kita makan di warung-warung favorit mahasiswa, bukankah kita makan ditempat seperti itu karena harganya yang terjangkau? Apa jadinya jika ada orang yang tiba-tiba menjadi tukang parkir disana yang tentu menambah pengeluaran?

Sebagai seorang (atau gerombolan) tukang parkir, aktivitas mereka pun tidak seperti wajarnya tukang parkir yang menjaga, merapikan kendaraan, maupun membantu pengendara menyeberang. Kebanyakan dari mareka hanya diam, sibuk dengan handphonenya, atau sibuk mengobrol dengan kawan-kawannya. Mereka seakan tidak peduli dengan kendaraan yang seharusnya mereka jaga. Mereka baru mendatangi ketika kita selesai parkir sambil pura-pura ikut menarik motor. Setelah itu masa bodoh si pengguna kendaraan kesulitan menyeberang atau tidak. Hanya dengan seperti itu mereka bisa memperoleh pendapatan yang lumayan.

Menurut saya banyaknya tukang parkir liar bukan karena minimnya pekerjaan lain yang tersedia, namun karena pekerjaan itu sangat praktis, tanpa modal, dan bisa mendatangkan banyak uang. Mental mereka yang ingin memperoleh pendapatan besar tanpa bekerja keras itulah yang membuat parkir liar begitu menjamur. Mereka seringkali datang ketika toko-toko sudah dibuka, dan pulang sebelum toko tersebut tutup. Uang juga datang dengan sendirinya tanpa mereka bekerja keras banting tulang. Siapa pula yang tidak mau hidup seperti ini?

Parkir liar bahkan lebih menggangu dibandingkan peminta sumbangan, pengamen, maupun pengemis. Jika ketiga profesi itu datang kita bisa menolak, tapi jika sudah parkir, mau tidak mau kita harus membayar mereka. Padahal mereka tak ubahnya preman yang menunggui kendaraan kita supaya mendapat uang.

Satu lagi yang membuat keberadaan parkir liar di Jogja sudah pada taraf yang memperihatinkan.  Informasi ini saya dapatkan dari koran Tribun Jogja edisi hari ini. Tukang parkir liar ternyata juga ada pada lokasi reka ulang peristiwa pembunuhan. Dimana logika mereka yang menarik uang ketika ada kejadian-kejadian seperti itu? Padahal disana juga ada 360 anggota polisi yang berjaga di sekitar lokasi reka ulang kejadian. Tanya kenapa?

Maka jika ada yang ingin bepergian di Jogja, siapkanlah uang ekstra karena setiap kendaraan anda berhenti di sebuah tempat, maka kemungkinan ada pemalak berkedok tukang parkir. Selamat datang di Yogyakarta Berhati Nyaman, yang sayangnya semakin hari membuat hati tidak nyaman karena keberadaan para tukang parkir liar.

http://lifestyle.kompasiana.com/urban/2013/05/17/jogja-kota-parkir-561060.html

Sabtu, 20 April 2013

KEGAGALAN NEGARA MEMBERIKAN PELAYANAN PUBLIK DALAM KASUS KA PRAMEKS


Perubahan biasanya terjadi untuk merubah keadaan menjadi lebih baik. Perubahan dilakukan karena ada sesuatu yang kurang pada pelaksanaan sebelumnya. Namun hakikat perubahan tersebut tidak berlaku pada keberadaan kereta api Prambanan Ekspres (KA Prameks), setidaknya apabila dilihat dari sudut pandang si pengguna. Dalam setiap perubahan kebijakannya, Prameks justru menunjukkan wajah yang semakin tidak bersahabat dengan para penumpang.

Foto KA Prameks
(http://protespublik.com/prambanan-ekspres-antara-kebutuhan-layanan-seri-3/)

Naiknya tarif hingga pengurangan jadwal merupakan satu dari sekian banyak perubahan yang sudah terjadi dalam pengoperasian KA Prameks. Kini bertambah lagi perubahan yang membuat Prameks semakin tidak nyaman digunakan sebagai transportasi umum, yaitu terkait perubahan jadwal operasional KA Prameks. Perubahan yang berdampak negatif ini dirasakan oleh penumpang yang menggunakan KA Prameks dari dan ke Kutoarjo pada jadwal keberangkatan terakhir.

Dalam jadwal KA Prameks terbaru, kereta terakhir yang berangkat dari Kutoarjo mundur satu jam dari jadwal semula menjadi sekitar pukul 19.00. Hal itu berarti KA Prameks yang berangkat dari Solo juga sampai di Kutoarjo pada jam 7 kurang. Sepintas jadwal baru ini normal-normal saja, namun bagi sebagian masyarakat pengguna, jadwal ini sangat tidak bersahabat dengan mereka terutama pada akhir pekan dan saat libur panjang.

Sudah bukan rahasia jika KA Prameks digunakan tidak hanya oleh masyarakat yang berdomisili di daerah yang dilewati KA Prameks seperti Yogyakarta, Purworejo, maupun Solo, namun juga daerah lain disekitarnya seperti Kebumen. Bagi masyarakat asal Kebumen yang akan menaiki KA Prameks maka mereka harus terlebih dahulu pergi ke stasiun Kutoarjo yang terletak di kabupetan Purworejo. Jarak yang lumayan jauh karena Kebumen-Kutoarjo biasanya ditempuh selama satu jam menggunakan kendaraan umum (bus), bahkan jarak Gombong (salah satu kecamatan paling barat di Kebumen) – Kutoarjo waktu tempuhnya lebih dari 1,5 jam.

Masalah muncul dengan jadwal baru KA Prameks karena kedatangan kereta di stasiun Kutoarjo menjadi pukul 7 malam. Jika di hari biasa mungkin tidak menimbulkan masalah, namun lain cerita apabila akhir pekan maupun libur panjang tiba. Pada waktu-waktu tersebut penumpang pasti membludak bahkan tidak jarang banyak penumpang yang kecewa karena tidak kebagian tiket. Apabila tidak kebagian tiket, lalu mereka akan menggunakan moda transportasi apa mengingat setelah Maghrib bis ekonomi lokal yang biasanya beroperasi dari Purwokerto-Jogja/Solo dan sebaliknya sudah jarang ditemukan? Masyarakat hanya punya pilihan menggunakan travel atau bus ekonomi lokal jarak jauh (AKAP) yang tentu tarifnya lebih mahal jika dibandingkan dengan tiket KA Prameks maupun bus ekonomi lokal.

Tidak hanya itu, jadwal baru KA Prameks juga membuat sebagian masyarakat yang turun di stasiun Kutoarjo kesulitan mendapatkan angkutan yang bisa mengantarkan mereka sampai Kebumen. Lagi-lagi setelah Maghrib jarang ada bus ekonomi lokal yang lewat. Biasanya hanya ada satu bus jurusan akhir Kebumen-Gombong dan satu angkutan jurusan akhir Prembun (wilayah Kebumen bagian timur) yang stand by di dekat stasiun Kutoarjo. Bus dengan jurusan yang sama baru akan lewat setengah jam lagi atau lebih.

Kondisi ini membuat para penumpang dengan tujuan akhir Kebumen-Gombong harus berdesakan di dalam bus. Penuhnya penumpang di dalam bus seperti saat musim mudik lebaran tiba. Bus yang sudah penuh terus dipaksakan untuk memuat lebih banyak orang karena memang banyak orang yang mengantri untuk naik. Sungguh sebuah pemandangan yang tidak manusiawi, tapi bagaimana lagi hanya dengan cara ini mereka bisa bertemu keluarga kembali.

Foto: Ilustrsi Penuh Sesaknya Penumpang dalam Bus setelah Turun dari KA Prameks di St. Kutoarjo
(http://toplustysae.blogspot.com/2012/02/berdesakan-di-atas-bus.html)

Jika sudah begini, dimanakah peran negara? Bukankah salah satu tugas negara adalah memberikan pelayanan publik? Seharusnya negara tidak hanya sekedar memberikan pelayanan, namun juga harus melayani dengan baik supaya masyarakat merasa nyaman. Sayangnya pengoperasian KA Prameks dengan malah memberikan contoh sebuah pelayanan publik yang buruk. Perubahan yang dilakukan tidak memperhatikan kebutuhan masyarakat penggunanya karena pastilah saat keputusan tersebut dibuat masyarakat memang tidak dilibatkan.

Saya sangat berharap PT KAI mau mengubah kembali jadwal KA Prameks dengan waktu yang lebih bersahabat, terutama bagi para penumpang yang tidak berasal dari daerah yang dilewati KA Prameks. Mahasiswa dan para pekerja sebagai golongan penumpang terbesar sangat membutuhkan keberadaan KA Prameks karena moda transportasi inilah yang dirasa cocok dengan kantong mereka. Ketergantungan masyarakat terhadap KA Prameks seharusnya tidak malah disikapi dengan peraturan-peraturan sekarepe dewe oleh para pengambil kebijakan. Apalagi bukankah pemerintah sendiri yang menghimbau kepada masyarakat supaya menggunakan kendaraan umum daripada kendaraan pribadi? Jika transportasi umunya saja tidak memperhatikan kebutuhan masyarakat, maka jangan salahkan masyarakat jika enggan menggunakan kendaraan umum. Contohnya ya saya ini yang lebih sering menggunakan kendaraan pribadi untuk pulang pergi Kebumen-Jogja. Gunakan KA Prameks seperlunya saja selama kebijakan-kebijakannya tidak menyulitkan kita.

HIDUP KENDARAAN PRIBADI SELAMA LOGIKA NEGARA DALAM MEMBERIKAN PELAYANAN PUBLIK BERUPA MODA TRANSPORTASI UMUM MASSAL TERKESAN SETENGAH HATI!

Selasa, 16 April 2013

GANJAR-HERU PASANGAN SALING MELENGKAPI


Tidak ada yang menyangsikan bahwa Jawa Tengah identik dengan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P). Sejak reformasi 1998, partai berlambang banteng ini selalu menang dalam pemilu dengan angka mutlak. Bahkan sejak pemilihan langsung kepala daerah diperkenalkan pada tahun 2004, banyak tokoh PDI-P yang memegang jabatan eksekutif di tingkat daerah mulai dari Bupati-Wakil Bupati, hingga Gubernur-wakil Gubernur di wilayah Jawa Tengah.
Kuatnya dukungan bagi PDI-Perjuangan di Jawa Tengah membuat partai ini menjadi muara bagi pihak-pihak yang ingin bertarung dalam setiap pemilihan, tidak terkecuali pada Pilkada Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Tengah 2013. Lihatlah para calon yang akan bertarung nanti, semuanya memiliki keterkaitan dengan PDI-P. Ganjar Pranowo tanpa kita ragukan lagi merupakan salah satu kader terbaik yang dimiliki PDI-P. Bibit Waluyo yang dalam pilgub kali ini didukung Partai Demokrat, Partai Golkar dan PAN, bisa menjadi gubernur pada periode 2008-2013 karena dicalonkan oleh PDI-P. Hadi Prabowo sebelum maju lewat kendaraan PKS, PKB, PPP, Partai Gerindra, Partai Hanura, dan PKNU  juga mendaftar sebagai bakal calon gubernur dari PDI-P. Bahkan sebelum penentuan siapa yang diusung PDI-Perjuangan, selebaran fotonya dengan background PDI-P banyak saya temukan di jalan-jalan Kabupaten Kebumen, tempat saya tinggal.
Namun status sebagai partai terbesar di Jawa Tengah tidak serta merta membuat PDI-P sembarangan dalam menentukan calon yang akan diusung. Dalam kepercayaan besar warga Jawa Tengah terhadap PDI-P terkandung tanggung jawab yang besar pula. Apalagi dalam pilgub kali ini calon yang mendaftar lewat bendera PDI-P merupakan tokoh-tokoh besar dengan reputasi gemilangnya masing-masing. Maka kekecewaan sebagian masyarakat karena pilihannya tidak diusung PDI-P menjadi hal yang lumrah, terutama para pendukung Rustriningsih yang kerap mempertanyakan mengapa Ganjar Pranowo yang akhirnya diusung PDI-P untuk maju dalam pilgub Jateng.

Foto: http://news.liputan6.com/read/531992/ganjar-pranowo-akan-temui-rustriningsih
      
Kekecewaan, lebih tepatnya keheranan juga sempat saya rasakan di awal. Rustriningsih adalah wakil gubernur saat ini, tahu banyak tentang kondisi masyarakat Jawa Tengah, dan salah satu kader loyal PDI-P. Apalagi beliau berasal dari Kebumen, sama seperti daerah asal saya. Dengan segala track record-nya, cukup mengherankan apabila Bu Rustri, begitu sapaan akrabnya tidak maju dalam pilgub Jateng.
Akan tetapi Ganjar Pranowo juga bukan sosok yang salah untuk dipilih. Saya mengenal beliau dalam beberapa seminar di kampus dan beberapa kegiatan ekstra kampus. Dari situlah saya tahu Pak Ganjar memiliki pemikiran yang progresif, punya beberapa ide pemecahan masalah yang konkret, dan selalu hadir dengan gagasan-gagasan orisinil. Terlebih lagi jabatannya sebagai wakil ketua komisi II DPR RI di usia 41 tahun membuktikan bahwa beliau memiliki kapasitas di usia yang masih muda.
Memperdebatkan siapa yang lebih baik diantara Rustriningsih dan Ganjar Pranowo rasanya kurang tepat. Masing-masing merupakan tokoh besar dengan segudang prestasi tersendiri. Bu Rustri dan Pak Ganjar juga tokoh penting dan loyal dalam lingkup PDI-Perjuangan. Keduanya sama-sama luar biasa.
Terpilihnya Ganjar Pranowo sebagai calon gubernur menurut saya lebih kepada strategi untuk memenangkan pemilukada di Jawa Tengah. Setidaknya dengan berkaca pada hasil-hasil pemilihan di daerah lain dapat terlihat mengapa pada akhirnya Ganjar Pranowo-Heru Sudjatmoko yang diusung PDI-Perjuangan. Pertama, pasangan Ganjar-Heru merupakan representasi semua kalangan. Ganjar-Heru merupakan pasangan yang saling melengkapi karena  mewakili tokoh muda-tua, birokrat-non birokrat, pekerja ruangan-lapangan, hingga mewakili seluruh wilayah yang ada di Jawa Tengah.
Prestasi Heru Sudjatmoko ketika menjabat sebagai wakil bupati (2005-2010) dan bupati (2010-sekarang) Purbalingga tentu membuatnya banyak dikenal masyarakat. Terlebih lagi kebijakannya kental dengan semangat menyejahterakan rakyat kecil diantaranya dengan menarik pulang para TKI dan memberi pekerjaan sebagai karyawan perusahaan rambut dan bulu mata palsu hingga Purbalingga menjadi daerah industri rambut dan bulu mata palsu terbesar kedua di dunia. Belum lagi perannya di eks Karesidenen Banyumas dan Kabupaten Kebumen lewat kerjasama antar daerah Barlingmascakeb, yang tentu semakin mengibarkan namanya.
Foto: http://hariansemarangbanget.blogspot.com/2013/03/pdip-akhirnya-usung-ganjar-pranowo-heru.html


Sementara itu Ganjar Pranowo memiliki basis popularitas yang berbeda. Ganjar terkenal di generasi muda karena sering menghadiri acara seminar kampus. Terlebih lagi wajahnya kerap menghiasi layar televisi lewat suaranya yang vokal di parlemen dengan pemikiran-pemikiran yang segar dan cerdas. Ini tentu menjadi daya tarik tersendiri bagi golongan muda yang selalu menuntut perubahan.
Tidak hanya dalam hal popularitas, berdasarkan latar belakang keduanya, Ganjar-Heru juga menjadi sosok yang saling melengkapi. Ganjar yang kental dengan latar belakang kegiatan organisasi di luar pemerintahan dilengkapi Heru dengan background birokratnya. Ganjar-Heru juga dapat menjadi representasi legislatif nasional-eksekutif daerah, seperti pola pemasangan Jokowi-Ahok dalam pilgub DKI Jakarta.
Alasan kedua dibalik terpilihnya pasangan Ganjar-Heru adalah untuk melawan calon-calon lain. Sudah bukan rahasia lagi apabila dua calon gubernur lain merupakan orang dalam di pemerintahan Jawa Tengah. Bibit Waluyo sebagai gubernur petahana sementara Hadi Prabowo menjabat sekda Jawa Tengah. Apabila PDI-Perjuangan mengusung Rustriningsih yang menjabat wakil gubernur, lantas apa bedanya dengan kedua calon yang lain? Tidak akan banyak perubahan yang ditawarkan karena ketiganya berpegang pada cara pandang yang sama sebagai orang dalam pemerintahan.
Padahal untuk dapat menarik hati masyarakat, ada dua posisi saling berseberangan yang diperebutkan dalam setiap pemilukada yaitu menjadi calon incumbent atau calon dari oposisi. Incumbent mendasarkan janji politiknya pada kelanjutan program kerja, sementara oposisi menawarkan program-progam perubahan. Apabila PDI-Perjuangan mengusung Bu Rustri, bagaimana posisinya? Apakah akan menawarkan kelanjutan program dari pemangku jabatan saat ini atau menawarkan perubahan? Jika janji politik Bu Rustri adalah melanjutkan program pemerintah saat ini, bukankah hal tersebut sama dengan program Pak Bibit dan Pak Hadi? Jika Bu Rustri memilih program perubahan, bukankah kurang layak karena beliau juga termasuk di dalam struktur pemerintahan? Disinilah Pak Ganjar muncul supaya PDI-Perjuangan bisa fokus pada agenda perubahan yang ditawarkan.
Alasan kedua diatas juga berkaitan dengan alasan ketiga yaitu tidak banyak seorang wakil yang bisa menang apabila bersaing dengan incumbent. Saya menggunakan kegagalan Dede Yusuf dalam pilgub Jabar beberapa waktu yang lalu dan juga kegagalan Jusuf Kalla dalam pemilihan presiden 2009 sebagai contoh. Dalam sebuah sistem pemilihan yang berpasangan, pecahnya kongsi sebenarnya hal yang tabu. Calon yang awalnya saling berpasangan namun kemudian berbalik menjadi pesaing seperti menjadi bukti tidak berjalannya manajemen komunikasi diantaranya keduanya. Parahnya lagi, hal ini seringkali tidak menguntungkan bagi sang wakil yang dianggap haus kekuasaan, siap menelikung dari belakang, hingga tidak mampu bekerja sama dengan atasannya.
Selain itu jabatan sebagai seorang wakil juga seringkali berada dalam situasi dilematis. Wakil selama ini hanya dianggap sebagai pembantu sang pemimpin. Apa yang dikerjakan oleh seorang wakil seolah-olah selalu perintah dari atasannya. Oleh karena itu keberhasilan sebuah program akan membuahkan puja-puji bagi sang pemimpin meskipun orang yang lebih berjasa sebenarnya adalah sang wakil.
Tidak percaya? Setidaknya ini yang dirasakan oleh Jusuf Kalla. Beliau merupakan orang yang paling berperan dalam perdamaian di bumi Aceh, tapi mengapa dalam pemilu presiden maupun pemilu legislatif justru SBY dengan Partai Demokrat-nya yang mendulang kemenangan mutlak? Berdasarkan buku yang saya baca (salah satu dari tetralogi buku sisi lain SBY karya Wisnu Nugroho) dimata masyarakat Aceh, JK hanya dianggap orang yang diutus presiden untuk menyelesaikan konflik di Serambi Mekah. Meskipun peran presiden tidak terlihat, namun menurut mereka presidenlah sosok yang paling berjasa.
Fenomena-fenomena seperti inilah yang ditakutkan akan berkembang dalam pemilihan gubernur Jawa Tengah kelak apabila PDI-Perjuangan memaksakan Rustriningsih untuk maju. Beliau ada di posisi sulit karena keberhasilan program selalu menguntungkan gubernur, sementara kegagalan sebuah program menjadi tanggung jawab keduanya.
Jadi tersisihnya Bu Rustri dalam bursa bakal calon gubernur yang diusung PDI-Perjuangan bukan karena salah satu calon lebih baik daripada calon yang lain, namun karena situasi dan kondisi politik di Jawa Tengah yang tidak memungkikan bagi Bu Rustri untuk maju. Secara kualitas individu, Rustriningsih dan Ganjar Pranowo adalah kader-kader terbaik. Akan tetapi keputusan politik tentu tidak ditentukan oleh kualitas pribadi semata. Ada banyak faktor lain yang terus berkembang dan perlu dicari solusinya supaya tujuan memenangkan pemilihan gubernur dan wakil gubernur Jawa Tengah dan menyejahterakan masyarakatnya dapat terwujud.
Ada baiknya para loyalis Rustriningsih memberikan suaranya untuk pasangan Ganjar-Heru. Bagaimanapunn juga kepentingan bersama harus diutamakan daripada kepentingan pribadi. Perpecahan hanya akan berakibat buruk dengan tidak tercapainya tujuan utama. Apalagi Bu Rustri tentu paham bahwa PDI-P harus tetap satu suara jika tidak ingin keunggulan basis massa yang sudah terbentuk menjadi sia-sia karena adanya perpecahan. Kegagalan PDI-Perjuangan dalam memenangkan calonnya pada pilkada Kabupaten Kebumen tahun 2010 lalu karena pecahnya dukungan suara tidak boleh terjadi lagi di pemilihan gubernur dan wakil gubernur Jawa Tengah 2013.

Kamis, 28 Maret 2013

PENGUATAN IDENTITAS BANGSA DI TENGAH ARUS GLOBALISASI DENGAN KEMBALI PADA PANCASILA


lomba blog pusaka indonesia 2013
Oleh: Dimas Adiputra (2013)

Ide dasar globalisasi yang ingin menghilangkan sekat-sekat antar wilayah disadari maupun tidak sudah terjadi di Indonesia. Perkembangannya bahkan sangat pesat dan tidak bisa dikendalikan lagi. Globalisasi sudah masuk pada seluruh level masyarakat Indonesia dengan beragam bentuknya mulai dari sesuatu yang sangat penting sampai pada hal yang remeh temeh sekalipun.

Globalisasi tidak datang sendiri. Setiap kehadirannya selalu diikuti arus liberalisasi, yaitu suatu pemikiran yang begitu mengagungkan kebebasan dalam setiap tindakan yang dilakukan individu-individu. Jika dikelola dengan baik, liberalisasi bisa membawa peradaban yang baik bagi kehidupan manusia seperti terbukanya informasi, hadirnya partisipasi dari masyarakat, hingga terciptanya koneksi antar manusia yang terpisahkan oleh jarak. Akan tetapi globalisasi juga bisa berdampak buruk. Bagaimana tidak, dengan globalisasi yang mengarah pada liberalisasi, maka persaingan kembali pada bentuk hukum rimba.

Pola persaingan siapa kuat dia yang menang inilah yang ditakutnya akan terjadi apabila globalisasi tidak diimbangi dengan kesiapan masyarakat lokal. Tidak salah memang apabila hukum rimba dilakukan oleh pihak-pihak yang kekuatannya setara, namun apabila satu pihak mendominasi pihak yang lain maka akan muncul monopoli bahkan kolonialisasi. Globalisasi yang membawa budaya dan hal-hal baru dari bangsa lain bisa memunculkan masalah tersebut apabila masuk tanpa proteksi.

Salah satu yang terancam dengan adanya globalisasi adalah identitas bangsa. Dengan kebebasan akses informasi, masyarakat dapat memilih untuk kemudian mengikuti budaya tertentu. Jika tidak diimbangi dengan karakter identitas asli bangsa yang kuat, bukan tidak mungkin orang Indonesia justru akan lebih menghargai identitas bangsa lain dan melupakan identitas bangsanya sendiri. Untuk itulah perlu sikap bijak dalam memandang keberadaan globalisasi supaya identitas asli bangsa ini tetap kuat meskipun diterpa oleh bermacam rintangan.

Memaknai Pancasila sebagai Identitas Bangsa
Indonesia merupakan negara yang sangat luas dengan majemuk. Kemajemukan ini memang sudah ada sejak jauh sebelum negeri ini merdeka, dan ketika negara Indonesia terbentuk tidak ada yang menginginkan adanya satu dominasi sebuah budaya diatas budaya yang lain. Semua budaya diberikan hak untuk berkembang dengan kearifannya masing-masing, bahkan juga berhak untuk diperkenalkan di daerah lain supaya menambah khasanah budaya masyarakatnya. Untuk itu para founding father menggunakan Bhineka Tunggal Ika yang berarti berbeda-beda tetapi tetap satu sebagai semboyan bangsa sebagai gambaran persatuan Indonesia yang terdiri dari beragam perbedaan.

Selain Bhineka Tunggal Ika, karakter asli Indonesia tercermin melalui dasar negara yang berbentuk Pancasila. Kedua hal ini, bersama dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia dan UUD 1945 merupakan empat pilar kehidupan berbangsa dan bernegara. Pancasila mengambil peran sebagai dasar negara, UUD 1945 sebagai konstitusi negara, NKRI sebagai bentuk negara, dan Bhineka Tunggal Ika sebagai semboyan negara (Pimpinan MPR dan Tim Kerja Sosialisasi MPR Periode 2009-2014, 2012). Ke empat pilar inilah yang menjadi representasi identitas bangsa Indonesia.

Diantara ke empat pilar diatas, tanpa memperkecil peran dan kedudukan pilar-pilar yang lain, kita perlu menempatkan Pancasila sebagai bagian terpenting dari identitas Indonesia. Bagaimana tidak, selain berperan sebagai pilar negara, Pancasila juga menjadi dasar negara bahkan ideologi bangsa Indonesia. Pancasila tidak hanya berisi lima butir sila, namun penelaahan masing-masing silanya berakar pada kepribadian dan gagasan bangsa Indonesia sendiri.

Pancasila adalah bukti bahwa Indonesia memiliki identitas tersendiri sebagai sebuah negara bangsa. Indonesia mampu berdiri sebagai sebuah negara tanpa terjebak pada perbedatan klasik diantara negara-negara merdeka seperti perdebatan menjadi negara liberalis atau negara sosialis, menjadi negara agama atau negara sekuler. Pancasila justru menjadi penengah bagi pemikiran-pemikiran ekstrim tersebut dengan mengambil kebaikan dari setiap pemikiran yang ada.

Para pendiri bangsa menyusun Pancasila dengan rumusan imajinatif: negara berdasarkan atas Ketuhanan yang Maha Esa (Ali, 2010). Dengan rumusan ini, maka negara memberikan kebebasan kepada setiap agama untuk berkembang dan negara berkewajiban melindungi keberadaan agama-agama tersebut. Konsep ini tentu berbeda dengan konsep negara agama dimana ada satu agama yang menjadi dasar negara, maupun konsep negara sekuler yang menyerahkan urusan agama kepada setiap individu tanpa ada campur tangan dari negara. Selain itu perdebatan pemikiran liberal dengan sosialis dirumuskan kembali dalam bingkai sila-sila yang mengakomodasi kebutuhan keduanya: kemanusiaan yang berkeadilan sosial. Hal ini berarti keadilan harus berdasarkan pada kebaikan sosial, bukan untuk kepentingan pribadi saja.

Sayangnya sebagai sebuah identitas bangsa, Pancasila sempat kehilangan pamornya ketika Orde Baru berkuasa. Pancasila yang berisi jadi diri bangsa justru disalahgunakan untuk kepentingan penguasa. Alhasil Pancasila justru disebut-sebut sebagai musuh rakyat.

Ketika Orde Baru runtuh dan Pancasila sedang berjuang mengembalikan tempatnya sebagai identitas bangsa, globalisasi berkembang pesat dengan membawa nilai-nilai liberalisasi. Nilai-nilai baru ini entah secara sadar maupun tidak, diterima dengan baik oleh masyarakat. Masyarakat Indonesia tumbuh menjadi masyarakat yang liberal dan individualis. Mereka kehilangan identitas sebagai orang Indonesia yang terkenal sebagai masyarakat yang tidak antipasti dengan keadaan sosialnya.

Tugas berat menanti ke depan. Pancasila sebagai dasar negara sekaligus identitas bangsa harus dikembalikan ke tempat asalnya. Tidak semata-mata menjadi jargon yang harus dihapalkan, namun juga dihayati dan diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari karena pada dasarnya Pancasila mengandung nilai-nilai luhur yang diambil dari kepribadian masyarakat Indonesia sendiri.

Menurut Bung Karno sebagai penggagas utama, Pancasila memang terdiri dari lima sila, namun lima sila tersebut bisa diperas menjadi tiga sila, dan dari tiga sila tersebut akan muncul satu sila (eka sila) yang menggambarkan identitas asli Indonesia yaitu gotong royong. Inti dari Pancasila seperti yang disampaikan oleh Bung Karno memang gotong royong. Semangat gotong royong merupakan identitas asli masyarakat Indonesia dari Sabang sampai Merauke. Gotong royong menjadi suatu sistem yang dianut oleh seluruh budaya dan kearifan lokal di negara ini.

Pancasila yang utama adalah gotong royong yang diimpelemtasikan dalam ke lima sila yang ada. Prinsip ketuhanan harus berjiwa gotong royong yaitu ketuhanan yang berkebudayaan, yang lapang dan toleran. Prinsip kemanusiaan harus berjiwa gotong royong yaitu kemanusiaan yang berkeadilan dan berkeadaban. Prinsip persatuannya harus berjiwa gotong royong yaitu mengupayakan persatuan dengan tetap menghargai perbedaan (Bhineka Tunggal Ika). Prinsip demokrasinya harus berjiwa gotong royong dengan mengembangkan musyawarah mufakat. Serta prinsip keadilannya harus berjiwa gotong royong juga dengan mengembangkan partisipasi dan emansipasi di bidang ekonomi dengan semangat kekeluargaan (Pimpinan MPR dan Tim Kerja Sosialisasi MPR Periode 2009-2014, 2012).

Implementasi Pancasila seperti diatas inilah yang telah hilang di Indonesia. Masyarakatnya mulai melupakan Pancasila dengan semangat gotong royongnya dan diganti oleh liberalisasi. Globalisasi yang membawa prinsip-prinsip persaingan bebas dengan menghilangkan batas-batas wilayah mau tidak mau menjadikan masyarakat Indonesia berpikir individualis supaya bisa bertahan di dalam persaingan bebas ini.

Akibat penerimaan globalisasi tanpa adanya filterisasi, struktur masyarakat Indonesia berubah ke arah yang buruk. Atas nama membela agamanya, orang-orang melakukan penyerangan dan pengucilan terhadap penganut agama tertentu. Prinsip kemanusiaannya berubah menjadi pergaulan kemanusiaan yang menjajah dan eksploitatif. Tidak ada lagi toleransi terhadap perbedaan sehingga memecah persatuan. Prinsip demokrasinya menjadi ajang monopoli suara mayoritas maupun minoritas elit dan penguasa modal. Prinsip keadilan ekonomi sosial pun pada akhirnya bubar diganti kesejahteraan berbasis individualisme-kapitalisme.

Oleh karena itu menjaga identitas bangsa dari ancaman globalisasi yang liberal berarti harus menumbuhkan kembali semangat gotong royong. Gotong royong sebagai intisari dari Pancasila dan identitas bangsa Indonesia tidak boleh hilang karena terjangan globalisasi. Masyarakat Indonesia harus membuktikan kepada dunia bahwa Indonesia adalah negara besar dengan prinsip yang melekat pada setiap hati sanubari masyarakatnya. Prinsip ini berbentuk Pancasila.

Daftar Pustaka
Ali, As’as Said. 2010. Negara Pancasila. Jakarta: Pustaka LPES.
Pimpinan MPR dan Tim Kerja Sosialisasi MPR Periode 2009-2014. 2012. Empat Pilar Kehidupan Berbangsa dan Bernegara. Jakarta: Sekretariat Jendral MPR RI.

Kamis, 10 Januari 2013

BELAJAR DARI PAHLAWAN


Baru saja saya menemukan sebuah buku menarik, Sejarah Kecil (Petite Historie) jilid 5 namanya. Sebelum membaca jilid yang ke 5 ini, saya sudah lebih dulu membaca seri nomor 1 hingga ke 4. Dari buku itu pula saya mendapat banyak pengetahuan baru, terutama tentang sejarah yang berserakan di negeri ini yang terkadang luput dari catatan mayor. Dari buku ini pula saya banyak menemukan nilai-nilai yang diucapkan para tokoh besar di negeri ini.

Satu hal kecil yang saya peroleh dari buku Sejarah Kecil adalah sosok Rosihan Anwar. Sebelum membaca buku ini, saya sama sekali tidak kenal siapa beliau. Sosoknya baru pertama kali ini saya dengar. Namun ternyata beliau merupakan sosok besar di bidang sejarah dan pers Indonesia. Padahal berbicara masalah pers, selama ini saya hanya mengenal Raden Mas Tirto Adhisoerjo. Itu pun saya mengenalnya setelah membaca tetralogi Buru karya Pramoedya Ananta Toer.

Gambar 1. Rosihan Anwar
http://adibsusilasiraj.blogspot.com/2011/04/rosihan-anwar-wartawan-kebetulan.html

Rosihan Anwar menurut saya ada sejarawan Indonesia yang besar di dunia pers. Entah bagaimana orang lain mengenalnya, apakah mengenal Rosihan sebagai seorang sejarawan ataukah mengenalnya sebagai seorang insan pers. Yang saya kagumi dari berliau adalah daya ingatnya dan juga pergaulannya yang begitu luas dengan para panggede negeri ini. Beliau bisa menulis buku sejarah kecil dengan berpedoman pada ingatannya, sehingga penggunaan buku-buku referensi bisa dikatakan tidaklah banyak.

Selain itu pergaulannya juga sangat luas. Hal itu terlihat dari bagaimana beliau menulis kisah tentang tokoh-tokoh besar Indonesia. Rosihan tidak menulis seperti informasi yang tertulis pada buku-buku, namun beliau menulis berdasarkan perkenalan pribadinya dengan tokoh itu. itulah yang membedakan buku Sejarah Kecil yang ditulisnya berbeda dengan buku-buku sejarah yang lain.

Siapa sangka beliau kenal dengan para tokoh besar di negeri ini. Bukan saja kenal dengan tokoh politik seperti Soekarno, Hatta, dan Sjahrir, namun juga tokoh-tokoh di bidang lain seperti tokoh pendidikan, tokoh film, dan sebagainya. Menurut saya, sekalipun dia seorang jurnalis, namun jika tidak diimbangi dengan sikapnya yang menyenangkan dan kharismanya, pastilah pergaulannya tidak seluas ini.
Nah pada tulisan kali ini, saya ingin berbagi tentang nilai-nilai yang bisa kita petik dari kehidupan para bapak pendiri bangsa ini. Saya baru menyelesaikan membaca tulisan tentang kisah Bung Karno dan Bung Hatta saja,namun dari dua tokoh itu saya menemukan beberapa fakta menarik. Lebih menarik lagi karena nilai-nilai ini sudah semakin ditinggalkan oleh para penerusnya.


Gambar 2: Buku Sejarah Kecil (Petite Historie) Jilid 5
http://www.eurekabookhouse.com/sejarah-kecil-petite-histoire-indonesia-jilid-pelopor-p-67647.

Pertama, saya ingin bercerita tentang bagaimana Bung Karno sangat mengagungkan bahasa Indonesia. Beliau menjadikan bahasa ini sebagai alat pemersatu di tengah beragamnya identitas masyarakat Indonesia. Saya ketik ulang saja tulisan Rosihan Anwar tentang Bung Karno ini:

“Soekarno adalah the great nation builder, pembina agung suatu bangsa. Indonesia meliputi kurang lebih 11000 pulau besar dan kecil, memiliki dua ratusan etnik dan bahasa, mencakup wilayah yang luas, berpenduduk 200 juta jiwa pada tahun 2000. Alat untuk mempersatukan rakyat dan pluralis dan beragam itu adalah bahasa Indonesia yang dikembangkan dari bahasa Melayu yang secara historis telah lama merupakan lingua franca, bahasa persatuan.

Soekarno sebagai orator dan jago pidato mempergunakan bahasa Indonesia untuk menggembleng bangsa Indonesia. Nasionalisme yang jadi perekat bangsa disebarkannya dalam bahasa Indonesia, secara tertulisa dalam media, secara lisan di rapat-rapat umum. Tidak terlalu salah jika ada penganalisis Barat yang mengatakan Soekarno telah menempa suat bangsa dengan bermodalkan bahasa. Tiada pemimpin politik lain di dunia yang berbuat demikian. Soekarno adalah unik dalam hal ini. Dengan bantuan alat bahasa, ia menjelma sebagai nation builder yang berhasil. Oleh karena itu janganlah mengabaikan penggunaan bahasa Indonesia, baik dalam lingkungan publik maupun private, demi menjamin kelestarian bangsa dan negara Indonesia.”

Kalimat diatas seharusnya membuat kita sadar betapa pentingnya bahasa Indonesia. Sayangnya di negeri ini bahasa pemersatu itu sudah mulai diletakkan sebagai bahasa sekunder. Jamak kita lihat bagaimana orang-orang bangga berbicara bahasa Inggris ketika mengobrol. Padahal yang diajak ngobrol adalah putra putri bangsa sendiri dan di tanah air sendiri. Kita juga begitu senang jika gaya bahasa kita sok Inggris-inggrisan.

Tidak hanya dalam pergaulan, tapi juga dalam dunia pendidikan. Kurikulum kita ini begitu mengagung-agungkan bahasa asing. Apalagi dengan sistem sekolah diskriminatif berbentuk RSBI/SBI. Untunglah sistem tersebut sekarang harus angkat kaki dari negeri ini.
Nah, mari kembali bangga berbahasa Indonesia!

Kisah kedua, saya ingin bercerita ulang dari kisah dalam buku tersebut tentang indahnya kolaborasi diantara tiga pendiri bangsa ini: Soekarno, Hatta, dan Sjahrir. Dalam bukunya, Rosihan bercerita bahwa ketiga tokoh itu memang bersama-sama membangun bangsa, namun diluar itu mereka ternyata sering saling melontarkan kritik. Hatta misalnya, pernah mengkritik Bung Karno yang sedang penjara di Sukamiskin pada tahun 1931. Beliau melontarkan kritik karena Soekarno dianggapnya lemah terhadap pemerintah kolonialisme, gara-garanya Bung Karno berkata akan mengehentikan aktivitas politiknya apabila dibebaskan dari hukuman penjara.

Bung Karno tak kalah mengkiritik Bung Hatta. Pada akhir tahun 1920-an, tersiar kabar yang menyatakan bahwa Mohammad Hatta akan dinominasikan menjadi anggota parlemen di Belanda (Tweede Kamer). Bung Karno lantas menyebut Hatta lupa dengan tujuan perjuangan mereka.

Meskipun saling kritik, namun ketika momentum untuk merdeka datang mereka langsung bisa bersatu. Mereka singkirkan ego masing-masing demi tujuan yang lebih besar, yaitu NKRI! Mereka tidak canggung saling bekerja sama ketika Belanda kalah dalam perang, kemudian bersatu padu mempersiapkan kemerdekaan Indonesia.

Bukan saja pada saat kemerdekaan, setelah merdeka pun tokoh-tokoh ini terus saling berseberangan. Bung Hatta akhirnya mengundurkan diri dari jabatan wakil presiden. Kemudian beliau menulis buku “Demokrasi Kita” yang menguraikan perbedaan paham dengan Soekarno. Buku kecil itu lalu dilarang terbit. Kendati demikian kedua orang itu tetap berbicara satu sama lain.

Begitu juga antara Soekarno dengan Sutan Sjahrir. Ketika perdana menteri pertama Indonesia ini dan juga tokoh-tokoh Partai Sosialis Indonesia (PSI) dijebloskan dalam penjara pada tahun 1962 karena diangga membahayakan kedudukan Soekarno, Sjahrir tetap menganjurkan kepada orang-orang PSI supaya membantu Presiden Soekarno apabila diminta.

Begitulah kode perilaku para pemimpin kita terdahulu. Mereka memang memiliki prisip masing-masing, yang kadang saling berseberangan. Namun egoisme dapat mereka redam untuk sesuatu yang lebih besar. Mereka memang sering berbeda pendapat, namun ketika sudah menyangkut Indonesia, mereka bisa saling bersatu padu. Itulah sifat-sifat yang perlu kita contoh dan kita teladani.

Cerita terakhir, daya ingin menulis ulang tentang bagaimana kebersahajaan Bung Hatta. Beliau memberikan contoh yang sangat baik bagaimana kita menghindari praktek-praktek KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme). Cerita ini sangat sederhana, namun besar maknanya bagi pelajaran kita semua. Saya kutipkan ulang tulisan Rosihan Anwar di halaman 79.

“Awal tahun 1950-an, uang kertas Indoensia mengalami pengguntingan. Nilainya dipotong separo. Ny Rahmi, istri Bung Hatta waktu itu sedang menabung karena ingin membeli sebuah mesin jahit. Dia kecewa karena pengguntingan uang itu. dia mengeluh kepada suaminya kenapa tidak bilang terlebih dahulu bahwa akan diadakan pemotongan uang?

“Hatta menjawab, “Yuke (pangglilan Ny Rahmi), seandainya Kak Hatta mengatakan terlebih dahulu kepadamu, nanti pasti hal itu akan disampaikan kepada ibumu. Lalu kalian berdua akan mempersiapkan diri dan mungkin akan memberi tahu kawan-kawan dekat kalian. Itu tidak baik. Kepentingan negara tidak ada hubungan sangkut pautnya dengan usaha memupuk kepentingan keluarga, rahasia negara adalah tetap rahasia. Sesungguhnya saya bisa pecaya kepadamu, tetapi rahasia ini tidak patut dibocorkan kepada siapapun. Biarlah kita rugi sedikit demi kepentingan seluruh negara. Kita coba menabung lagi ya.”

Bukankah sangat menarik nilai yang diajarkan Bung Hatta tersebut? jika kita berada di posisi Bung Hatta, bisakah kita menyimpan rapat-rapat sebuah rahasia? Kita pasti tidak mau rugi, kita pasti akan justru berusaha mengambil keuntungan dengan adanya keputusan seperti itu seperti membelanjakan uang saat itu juga sebelum nilai rupiah dipotong, atau mengabarkan kepada orang-orang terdekat kita supaya segera mempersiapkan diri. Bukankah seperti itu sikap para pejabat dan juga kita dewasa ini?

Sepertinya para pejabat di negeri ini dan juga kita perlu membaca ulang sejarah. Begitu banyak nilai-nilai yang bisa ketik di dalamnya. Sayangnya sejarah hanya dijadikan ilmu sambil lalu, keberadaannya tidak terlalu penting, dan dianggap membuat orang-orang sulit berpikir ke depan. Menurut saya justru sebaliknya, bukankah dengan menengok ke belakang, kita jadi tahu apa yang benar dan yang salah untuk kehidupan di masa datang?


Terima kasih Pak Rosihan atas pengetahuan yang beliau bagikan.

Selasa, 18 Desember 2012

PENGELOLAAN KLUB YANG TERPRIVATISASI

Ini tulisan saya di Rubrik OPOSAN Tabloid Bola, 13 September 2012




Sejak keluarnya Permendagri nomor 22 tahun 2011 yang melarang penggunaan dana APBD untuk klub sepak bola, dinamika persepakbolaan di tanah air memasuki babak baru. Peraturan tersebut memaksa manajemen klub berlaku lebih profesional dalam mengelola klub. Mereka tidak bisa lagi menghambur-hamburkan uang tanpa didukung adanya penerimaan dana yang memadai. Klub sepak bola di Indonesia mengalami periode privatisasi.
            Privatisasi klub sejatinya memberikan banyak dampak positif. Klub tidak bisa lagi seenaknya dalam merekrut pemain. Mereka dituntut jeli dalam mencari pemain yang pas dengan skema tim dan juga dengan harga yang terjangkau. Begitu juga dalam mengalokasikan dana pada pos-pos anggaran yang lain. Klub harus lebih hati-hati karena tidak bisa lagi mendapat talangan dana dari pemerintah daerah apabila diakhir musim keuangan klub mendapat rapor merah.
            Hal positif lainnya, klub tidak lagi memandang suporter sebelah mata. Jika dulu suporter hanya jadi pelengkap dari hiburan dalam pertandingan sepak bola, maka saat ini suporter dipandang sebagai konsumen utama bagi klub. Keberadaan mereka di stadion menjadi penting karena ikut mempengaruhi pendapatan klub dari sektor tiket pertandingan.
            Otomatis mau tidak mau klub harus menjaga hubungan baik dengan suporternya. Citra klub yang baik akan meningkatkan loyalitas suporter terhadap klub kesayangannya. Dampak yang lebih besar, klub menjadi mudah menggaet sponsor. Klub bisa menjadi arena investasi yang baik karena disana sudah ada para suporter yang selalu berdiri di belakang klub.

Peran Pemerintah Daerah
            Meskipun sebenarnya klub bisa mandiri tanpa bantuan dana dari pemerintah daerah, namun jika dilihat secara lebih luas klub tetap bisa memanfaatkan pos APBD. Yang harus diperhatikan pemanfaatkan anggaran ini tidak dilakukan secara massif dan membabi buta. Dana ini juga digunakan dalam konteks simbiosis mutualisme, bukan seperti kasih ibu kepada anak yang tidak mengharapkan timbal balik.
            Secara umum bantuan yang bisa diberikan pemerintah daerah kepada klub bisa dalam bentuk bantuan langsung maupun tidak langsung. Bantuan langsung artinya pemerintah daerah memberikan dana kepada klub dalam kapasitasnya sebagai sponsor.
            Selama ini klub sudah menjadi ikon dari masing-masing daerah. Disadari atau tidak klub telah berjasa dalam mengangkat nama sebuah daerah lewat prestasinya dalam sepak bola. Oleh karena itu klub bisa digunakan sebagai sarana promosi bagi daerah yang ingin mempromosikan pariwisata di daerahnya.
            Melalui format kompetisi yang dilangsungkan secara kandang-tandang, kesempatan bagi sebuah daerah untuk mempromosikan tempat wisatanya semakin besar. Dalam satu musim kompetisi, sebuah daerah akan kedatangan banyak klub beserta suporter dari daerah lain. Momen inilah yang seharusnya dimaksimalkan oleh pemerintah daerah. Mereka bisa berpromosi saat kedatangan tim dari daerah lain dan juga saat tim asal daerahnya melakukan pertandingan di kandang klub lain.
            Alhasil klub dan pemerintah daerah sama-sama memperoleh keuntungan. Klub memperoleh tambahan dana dari upayanya membantu mempromosikan tempat wisata, pemerintah daerah juga terbantu karena daerah wisata yang ada semakin dikenal masyarakat.
            Sementara itu klub juga memperoleh bantuan tidak langsung jika pemerintah daerah serius dalam mengembangkan pemain usia dini. Dalam Permendagri nomor 22 tahun 2011 dana APBD hanya bisa digunakan untuk pembinaan pemain muda. Pemerintah daerah lewat KONI bisa memanfaatkan dana tersebut untuk membantu SSB maupun menggelar kompetisi usia dini. Dari sinilah kemudian lahir bakat-bakat baru yang dapat dipakai klub untuk mengarungi kompetisi profesional.
            Apabila klub bisa memaksimalkan dua bantuan ini maka fenomena kesulitan dana yang sedang melanda beberpaa klub bisa diminimalisir. Klub bisa memperoleh pemain berkualitas dengan biaya murah karena didukung kompetisi usia dini yang apik. Klub juga bisa mendapat dana lewat partisipasinya mempromosikan tempat wisata, dan yang terpenting pemanfaatan dana pemerintah ini tidak melanggar peraturan yang ada.

Popular Posts