Jumat, 17 Mei 2013

JOGJA KOTA PARKIR


Kalau dalam peribahasa dikenal “Ada gula ada semut”, maka di Yogyakarta berlaku hukum “Dimana ada keramaian, pasti di situ ada tukang parkir”.

Parkir berbayar tampaknya sudah menjadi hal yang lumrah saat ini. Ketika kita membawa kendaraan, maka kita juga harus siap mengeluarkan dana ekstra untuk biaya parkir. Sebenarnya hal itu sah-sah saja asal keberadaannya membantu pemilik kendaraan dan tentu saja resmi.

Idealnya parkir berbayar hanya ditemui pada tempat-tempat tertentu yang memang memerlukan penjagaan karena kita sedang berada jauh dari kendaraan kita. Tukang parkir umumnya beroperasi di kompleks pertokoan di jalan besar, mal, tempat hiburan, maupun tempat wisata. Di tempat-tempat seperti itu keberadaan tukang parkir dibutuhkan karena kita sebagai pemilik kendaraan memang membutuhkan jasanya. Namun dalam perkembangannya, tukang parkir yang menarik biaya telah merambah ke hampir semua tempat. Tidak peduli apakah kita membutuhkan jasanya, tanpa peduli padahal kita masih bisa menjaga kendaraan sendiri, mereka tetap saja ada dan dengan seenak hati menarik bayaran. Prinsipnya ada sedikit saja keramaian dengan kendaraan yang berjejer-jejer, maka mereka dengan cepat akan datang. Mereka bak semut yang melihat tumpukan gula.

Fenomena seperti itu sangat terasa di tempat saya tinggal dalam empat tahun terakhir ini: Yogyakarta. Keberadaan tukang parkir, terutama yang liar (tanpa karcis dan tidak dipekerjakan pemerintah) sangat banyak jumlahnya. Mereka ada dimana-mana, mulai jalan yang berstatus jalan nasional sampai gang-gang kecil di sekitar perkampungan masyarakat. Dari yang mangkal di depan toko megah sampai di warung-warung kecil yang terselip di sudut kota.

Di Yogyakarta, keberadaan tukang parkir liar sudah sampai pada level yang menjengkelkan sekaligus mengkhawatirkan. Menjengkelkan karena mereka ada dimana-mana serta kehadirannya sebenarnya tidak diperlukan, mengkhawatirkan karena itu mengancam persediaan uang (bagi saya yang seorang mahasiswa) sekaligus beresiko menimbulkan efek domino di tempat-tempat lain. Di Yogyakarta, tukang parkir liar sudah menjalar sampai ATM, angkringan yang ramai, kios fotocopy sederhana, sampai warung-warung yang kerap didatangi mahasiswa.

Apa kegunaan mereka di tempat-tempat seperti itu? Ketika kita ke ATM, berapa lama memangnya di sana? Begitu juga ketika kita di tempat fotocopy-an, barangkali uang yang kita bayarkan untuk parkir lebih banyak dibandingkan harga file yang difotocopy. Kemudian, ketika kita makan di angkringan, apa pantas ditarik uang parkir padahal kendaraan kita berdiri persis di samping kita? Atau mungkin ketika kita makan di warung-warung favorit mahasiswa, bukankah kita makan ditempat seperti itu karena harganya yang terjangkau? Apa jadinya jika ada orang yang tiba-tiba menjadi tukang parkir disana yang tentu menambah pengeluaran?

Sebagai seorang (atau gerombolan) tukang parkir, aktivitas mereka pun tidak seperti wajarnya tukang parkir yang menjaga, merapikan kendaraan, maupun membantu pengendara menyeberang. Kebanyakan dari mareka hanya diam, sibuk dengan handphonenya, atau sibuk mengobrol dengan kawan-kawannya. Mereka seakan tidak peduli dengan kendaraan yang seharusnya mereka jaga. Mereka baru mendatangi ketika kita selesai parkir sambil pura-pura ikut menarik motor. Setelah itu masa bodoh si pengguna kendaraan kesulitan menyeberang atau tidak. Hanya dengan seperti itu mereka bisa memperoleh pendapatan yang lumayan.

Menurut saya banyaknya tukang parkir liar bukan karena minimnya pekerjaan lain yang tersedia, namun karena pekerjaan itu sangat praktis, tanpa modal, dan bisa mendatangkan banyak uang. Mental mereka yang ingin memperoleh pendapatan besar tanpa bekerja keras itulah yang membuat parkir liar begitu menjamur. Mereka seringkali datang ketika toko-toko sudah dibuka, dan pulang sebelum toko tersebut tutup. Uang juga datang dengan sendirinya tanpa mereka bekerja keras banting tulang. Siapa pula yang tidak mau hidup seperti ini?

Parkir liar bahkan lebih menggangu dibandingkan peminta sumbangan, pengamen, maupun pengemis. Jika ketiga profesi itu datang kita bisa menolak, tapi jika sudah parkir, mau tidak mau kita harus membayar mereka. Padahal mereka tak ubahnya preman yang menunggui kendaraan kita supaya mendapat uang.

Satu lagi yang membuat keberadaan parkir liar di Jogja sudah pada taraf yang memperihatinkan.  Informasi ini saya dapatkan dari koran Tribun Jogja edisi hari ini. Tukang parkir liar ternyata juga ada pada lokasi reka ulang peristiwa pembunuhan. Dimana logika mereka yang menarik uang ketika ada kejadian-kejadian seperti itu? Padahal disana juga ada 360 anggota polisi yang berjaga di sekitar lokasi reka ulang kejadian. Tanya kenapa?

Maka jika ada yang ingin bepergian di Jogja, siapkanlah uang ekstra karena setiap kendaraan anda berhenti di sebuah tempat, maka kemungkinan ada pemalak berkedok tukang parkir. Selamat datang di Yogyakarta Berhati Nyaman, yang sayangnya semakin hari membuat hati tidak nyaman karena keberadaan para tukang parkir liar.

http://lifestyle.kompasiana.com/urban/2013/05/17/jogja-kota-parkir-561060.html

1 komentar:

  1. apalagi kalo kalo tukang parkirnya rese, dikasih 500 minta 1000.. tapi abis dikasih ditinggal pergi ngga dibantuin nyebrang.. beeee ~___~

    BalasHapus

Popular Posts