Kalau
dalam peribahasa dikenal “Ada gula ada semut”, maka di Yogyakarta berlaku hukum
“Dimana ada keramaian, pasti di situ ada tukang parkir”.
Parkir
berbayar tampaknya sudah menjadi hal yang lumrah saat ini. Ketika kita membawa
kendaraan, maka kita juga harus siap mengeluarkan dana ekstra untuk biaya
parkir. Sebenarnya hal itu sah-sah saja asal keberadaannya membantu pemilik kendaraan
dan tentu saja resmi.
Idealnya
parkir berbayar hanya ditemui pada tempat-tempat tertentu yang memang
memerlukan penjagaan karena kita sedang berada jauh dari kendaraan kita. Tukang
parkir umumnya beroperasi di kompleks pertokoan di jalan besar, mal, tempat
hiburan, maupun tempat wisata. Di tempat-tempat seperti itu keberadaan tukang
parkir dibutuhkan karena kita sebagai pemilik kendaraan memang membutuhkan
jasanya. Namun dalam perkembangannya, tukang parkir yang menarik biaya telah
merambah ke hampir semua tempat. Tidak peduli apakah kita membutuhkan jasanya,
tanpa peduli padahal kita masih bisa menjaga kendaraan sendiri, mereka tetap
saja ada dan dengan seenak hati menarik bayaran. Prinsipnya ada sedikit saja
keramaian dengan kendaraan yang berjejer-jejer, maka mereka dengan cepat akan
datang. Mereka bak semut yang melihat tumpukan gula.
Fenomena
seperti itu sangat terasa di tempat saya tinggal dalam empat tahun terakhir
ini: Yogyakarta. Keberadaan tukang parkir, terutama yang liar (tanpa karcis dan
tidak dipekerjakan pemerintah) sangat banyak jumlahnya. Mereka ada dimana-mana,
mulai jalan yang berstatus jalan nasional sampai gang-gang kecil di sekitar perkampungan
masyarakat. Dari yang mangkal di depan toko megah sampai di warung-warung kecil
yang terselip di sudut kota.
Di
Yogyakarta, keberadaan tukang parkir liar sudah sampai pada level yang
menjengkelkan sekaligus mengkhawatirkan. Menjengkelkan karena mereka ada
dimana-mana serta kehadirannya sebenarnya tidak diperlukan, mengkhawatirkan
karena itu mengancam persediaan uang (bagi saya yang seorang mahasiswa) sekaligus
beresiko menimbulkan efek domino di tempat-tempat lain. Di Yogyakarta, tukang
parkir liar sudah menjalar sampai ATM, angkringan yang ramai, kios fotocopy
sederhana, sampai warung-warung yang kerap didatangi mahasiswa.
Apa
kegunaan mereka di tempat-tempat seperti itu? Ketika kita ke ATM, berapa lama
memangnya di sana? Begitu juga ketika kita di tempat fotocopy-an, barangkali uang
yang kita bayarkan untuk parkir lebih banyak dibandingkan harga file yang
difotocopy. Kemudian, ketika kita makan di angkringan, apa pantas ditarik uang
parkir padahal kendaraan kita berdiri persis di samping kita? Atau mungkin
ketika kita makan di warung-warung favorit mahasiswa, bukankah kita makan
ditempat seperti itu karena harganya yang terjangkau? Apa jadinya jika ada
orang yang tiba-tiba menjadi tukang parkir disana yang tentu menambah
pengeluaran?
Sebagai
seorang (atau gerombolan) tukang parkir, aktivitas mereka pun tidak seperti
wajarnya tukang parkir yang menjaga, merapikan kendaraan, maupun membantu pengendara
menyeberang. Kebanyakan dari mareka hanya diam, sibuk dengan handphonenya, atau
sibuk mengobrol dengan kawan-kawannya. Mereka seakan tidak peduli dengan
kendaraan yang seharusnya mereka jaga. Mereka baru mendatangi ketika kita
selesai parkir sambil pura-pura ikut menarik motor. Setelah itu masa bodoh si
pengguna kendaraan kesulitan menyeberang atau tidak. Hanya dengan seperti itu
mereka bisa memperoleh pendapatan yang lumayan.
Menurut
saya banyaknya tukang parkir liar bukan karena minimnya pekerjaan lain yang
tersedia, namun karena pekerjaan itu sangat praktis, tanpa modal, dan bisa
mendatangkan banyak uang. Mental mereka yang ingin memperoleh pendapatan besar
tanpa bekerja keras itulah yang membuat parkir liar begitu menjamur. Mereka seringkali
datang ketika toko-toko sudah dibuka, dan pulang sebelum toko tersebut tutup. Uang
juga datang dengan sendirinya tanpa mereka bekerja keras banting tulang. Siapa pula
yang tidak mau hidup seperti ini?
Parkir
liar bahkan lebih menggangu dibandingkan peminta sumbangan, pengamen, maupun
pengemis. Jika ketiga profesi itu datang kita bisa menolak, tapi jika sudah
parkir, mau tidak mau kita harus membayar mereka. Padahal mereka tak ubahnya
preman yang menunggui kendaraan kita supaya mendapat uang.
Satu
lagi yang membuat keberadaan parkir liar di Jogja sudah pada taraf yang
memperihatinkan. Informasi ini saya
dapatkan dari koran Tribun Jogja edisi hari ini. Tukang parkir liar ternyata
juga ada pada lokasi reka ulang peristiwa pembunuhan. Dimana logika mereka yang
menarik uang ketika ada kejadian-kejadian seperti itu? Padahal disana juga ada
360 anggota polisi yang berjaga di sekitar lokasi reka ulang kejadian. Tanya
kenapa?
Maka
jika ada yang ingin bepergian di Jogja, siapkanlah uang ekstra karena setiap
kendaraan anda berhenti di sebuah tempat, maka kemungkinan ada pemalak berkedok
tukang parkir. Selamat datang di Yogyakarta Berhati Nyaman, yang sayangnya
semakin hari membuat hati tidak nyaman karena keberadaan para tukang parkir
liar.
http://lifestyle.kompasiana.com/urban/2013/05/17/jogja-kota-parkir-561060.html
apalagi kalo kalo tukang parkirnya rese, dikasih 500 minta 1000.. tapi abis dikasih ditinggal pergi ngga dibantuin nyebrang.. beeee ~___~
BalasHapus